Total Pageviews

Wednesday, December 26, 2012

#5 Father

Papa saya,orang Jogja asli.
Mewarisi seluruh sifat khas orang jawa.
Santun,sederhana,penyayang,tidak banyak bicara.
Dan papa saya,adalah laki-laki yang paling saya banggakan di seluruh dunia.

-------------------------------------

Artikel ini,akan saya mulai dari kalimat ini:
Mama saya adalah perempuan paling beruntung karena menikah dengan laki-laki seperti papa...

Itu adalah kalimat pujian tertinggi yang masih bisa saya rangkai untuk mendeskripsikan papa saya.

Waktu kecil,pertama kali masuk SD...
Saya mendengar cerita kalau papa dulu selalu ranking satu.Dari SD,SMP,sampe akhirnya masuk ke sekolah asisten apoteker di Jogja.Papa adalah kebanggaan desanya.Papa nampaknya terlahir dengan IQ yang gilang gemilang 8 tahun setelah Indonesia merdeka,hidup di keluarga petani,papa pun turun ke sawah dan membantu orang tuanya menanam padi-padi hijau yang menjadi sumber nafkah.Papa hidup prihatin.Masa kecilnya tidak pernah terbayangkan oleh saya,sepatu saja tidak ada.Saat papa baru berusia setahun,orang tua papa bercerai,dan sampai sekarang papa tidak pernah bercerita bagaimana sakitnya menjadi anak hasil pernikahan orang tuanya yang retak. Ibunya papa menikah lagi dengan laki-laki yang sampai saya SMA saya kira adalah ayah kandung papa.Semakin beranjak besar,saya menemukan banyak kejutan dari masa lalu papa, termasuk kenyataan pahit yang selalu papa simpan dengan tegar,tidak pernah sekalipun ia bercerita tentang hal-hal menyangkut orang tuanya.Semua saya tahu dari mama.

Papa saya: seorang plegmatis.
Karena itulah,saat-saat papa marah adalah kejadian langka dan hampir tidak pernah terjadi seumur hidup tinggal bersama papa.Mungkin bisa dihitung dengan jari.Ketika papa marah,biasanya papa pergi dan tidak mengatakan apa pun.Tapi dari raut mukanya saja,saya dan adik bisa tidak bisa tidur saking merasa bersalahnya.Pernah sekali papa marah ketika saya dan adik terus menerus bertengkar di ruang TV (zaman SD dulu).Papa yang sedang nonton TV dengan mama,tiba-tiba berdiri,mematikan TV dan lampu,terus masuk dan membanting pintu.

Kejadian itu terus membekas di memori saya bahkan sampai detik saya menulis blog ini: bukan perasaan takut,tapi perasaan bersalah.Jika ada orang yang paling tidak ingin anda buat marah, itu adalah orang-orang tipe ini.Tenang,kalem,tidak pernah banyak bicara,sabar,...tapi jika sekali membuat dia marah...HHH,anda pasti akan menyesal.

Kembali lagi ke zaman saya SD
Saya yang terlahir dengan sifat sanguin-koleris akut tentunya "panas" setelah mengetahui kalau papa saya selalu juara kelas.Jadi sepanjang SD dan SMP, saya belajar keras dengan tujuan utama "mengalahkan papa",dan bukan yang lain.Jiwa anak kecil saya mengatakan,"wajh papaku keren bgt bisa ranking pertama terus...pasti papaku pinter bgt hhh." dan diam-diam mengidolakan papa.

Papaku yang kalem dan sabar.

Papa yang mencintai buku-buku.

Papa yang religius.

Ketika papa mengimami kami setiap salat berjamaah (yang sudah 8 tahun ini cuma saya alami sekali tiap tahun saat mudik),alunan surat alfatihah dan surat pendek papa benar-benar enak didengar.Tidak sampai selevel ma imam di mesjid-mejid besar,tapi sangat mirip.Panjang pendek dan hukum bacaannya jg sebagian besar benar. Papa tidak pernah memaksa mama ataupun saya memakai jilbab dan menutup aurat, tapi pada suatu hari, di umur saya yang masih sangat muda, 7 tahun, saya memutuskan sendiri memakai jilbab. Tidak lain saya sadari adalah karena aura di rumah kami yang benar-benar mempertahankan pentingnya arti keyakinan kepada Tuhan pada setiap pekerjaan dan kehidupan kami. Papa bukan islam fanatik, beliau sangat moderat dan tidak pernah mendoktrin mana yang benar mana yang salah.Buku-buku yang dimiliki papalah yang berbicara banyak.Allah sangat baik pada saya dan papa, karena sejak kecil saya sangat suka membaca.Buku papa yang berbau2 religi di rak rumah kami,entah tebal entah tipis, jika ada judul yang menarik pasti saya lahap.Bahkan Farmakope-pun pernah saya coba baca,walaupun diakhiri dengan kekecewan karena di dalamnya berisi rumus struktur molekul organik yang jauh di luar kemampuan otak saya.

Papa yang sederhana.

Papa yang memelihara sandal yang dia beli waktu pertama kali menikah dengan mama, dan masi dipakai kemana-mana sampai saya besar.

Papa yang tidak begitu suka difoto.

Papa yang puas dengan mobil kijang baru-nya yang dia beli 16 tahun yang lalu, dan masih jadi mobil keluarga kami sampai sekarang.

Papa yang (jika tidak dipaksa) tidak akan pernah punya hp.

Papa yang tidak pernah punya komputer pribadi di rumah sampai akhirnya adik saya beralih ke laptop dan komputernya "diwariskan" ke papa...

Papa,hari ini,saya begitu merindukannya.





Thursday, December 20, 2012

#4 Between life and death

Bagaimana rasanya jika batas antara hidup dan mati itu sangat tipis?Mungkin tragedi paling "berdarah" seumur hidup saya adalah saat saya harus masuk UGD dengan dagu robek pas TK nol besar dulu. TKPnya adalah lantai rumah saya, saksinya adalah pembantu dan adik saya yang baru lahir beberapa bulan.Sore yang damai, karena waktu itu papa saya masi di kantor dan mama sedang asik di kamar. Saya yang kebetulan memang dilahirkan mempunyai sifat sedikit hiperaktif dan provokatif sedang mencoba "mainan" baru saya, gaya gasing. Caranya gampang: tinggal memutarkan tubuh berulang-ulang sampai sensasi pusing itu sampai pada puncaknya, lalu berhenti dan menikmati sensasi pusing yang tersisa. Lantai,langit-langit kamar,pembantu yang menyuapi adik saya, semuanya berputar dan tiba-tiba mengabur, menciptakan perasaan "fly" yang luarbiasa untuk anak seumuran saya. Saya langsung ketagihan, dan terlebih beberapa saat kemudian, saya jatuh bebas dengan dagu duluan menghantam lantai.

Saking kerasnya bunyi yang ditimbulkan, mama saya sampai keluar dari kamar. Seingat saya,saya cuma bisa menatap ke bawah, ke arah tangan saya yg tiba2 dibanjiri dengan darah segar. Mama saya yang pada dasarnya takut dengan darah tergopoh2 mengambil handuk (bukan tisu lagi) untuk menutupi robek di dagu saya. Untungnya mama saya waktu itu tidak sampai pingsan seperti waktu adik saya dikhitan beberapa tahun kemudian.

Handuk putih itu langsung berubah warna dengan cepat. Saya menangis sekeras-kerasnya.Ga kebayang sakitnya waktu itu.Setelah itu saya langsung dilarikan ke UGD dan dijahit 4 jahitan. Bekasnya masi ada sampai sekarang, 18 tahun kemudian.

Tapi tentu saja itu bukanlah inti dari post-an ini. Yang ingin saya share adalah satu momen yang benar-benar membuat saya sadar, bahwa kematian itu benar-benar sangat dekat dengan kehidupan kita. "Mati" bukanlah suatu hal yang terdengar asing dan mustahil, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat mengingat umur kita yang masih muda, dan bukanlah harus selalu berhubungan dengan "tragedi berdarah-darah"...

Kejadiannya di tahun pertama kepindahan saya ke Bandung, waktu saya baru saja merayakan ulang tahun saya ke-15.Pertama kalinya hidup jauh dari orang tua, saya memang cuma bermodalkan nekat. Bayangkan, mencuci piring saja jarang, masak belum pernah sama sekali. Mencuci dan menyetrika apalagi. Untuk urusan pergi kemana-mana, papa dan mobilnya selalu siap mengantar. Nae angkot sendirian saya belum pernah seumur hidup hahaha. Intinya, saya benar-benar memulai "hidup baru" saya waktu merantau ke kota kembang itu. Modalnya apa?ya nilai raport saya.Sisanya nekat.

Kalau dipikir-pikir,ujian di tahun pertama SMA saya itu sangat-sangat berat memang. Tapi alhamdulillah saya termasuk anak yang keras kepala dan keras hatinya, jadi semuanya bisa dibilang bisa dilalui dengan penuh perjuangan dan (lagi-lagi) agak-agak di luar perhitungan. Saya dikaruniai om dan tante dari keluarga mama yang sangat-sangat perhatian. Ditambah lagi tante saya yang lain, masih dari keluarga mama, yang mau menemani saya di bulan-bulan pertama kepindahan saya.Sejujurnya,merekalah yang berjasa membuat saya bisa merasa nyaman dan kerasan di Bandung...tapi memang nampaknya,masalah yang tersisa ada pada diri saya.

Sejujurnya, saya bukanlah sesehat yang kelihatan di luar. Saya sakit-sakitan sejak masuk SMP, dan sudah langganan keluar masuk RS di kampung halaman saya di Balikpapan.Walaupun sama sekali bukan sakit yang serius, tapi tetap saja membuat saya sering diopname setidaknya seminggu.Lagi Allah masih mengasihani orang tua saya, karena biaya RS ditanggung sepenuhnya oleh pihak kantor. Sakitnya sepele, cuma gara-gara flu padahal.



Sebelum kejadian itu,saya belum pernah serius memikirkan tentang kematian.

Pada hari itu,saya sudah lama flu.Karena flu adalah penyakit yang terlalu populer,saya pun sudah rutin mengonsumsi obat yang menjadi bekal wajib saya sejak berada jauh dari rumah.Papa saya adalah seorang apoteker, dimana kulkas rumah kami sejak dulu dipenuhi dengan berbagai jenis obat jenis cair; meja makan di ruang tngah dihiasi keranjang rotan cantik yang (parahnya) berisi obat2an tablet, dan rak buku rumah kami terdeteksi dua buku super tebal dengan sampul merah bertuliskan "Farmakope", yang baru-baru ini ketika kuliah di ITB saya sadari sebagai buku saktinya anak farmasi.

Pikir saya,agak gawat ini karena ketika flu datang,rentetan peristiwanya pasti:
hidung tersumbat-bersin-radang tenggorokan-batuk berdahak-.....

ujung2nya RS.kalo saya.

Saya kurang mengerti apa istilah kedokterannya.Tapi sepertinya dahak yang diproduksi oleh tubuh saya terlalu melampaui kapasitas penampungan tenggorokan saya. Akibatnya dahak tersebut berkumpul dan menutup saluran pernapasan, karena setelah sekian lama, dahak yang tidak keluar itu mengeras dan akhirnya menggumpal, membuatnya makin susah untuk dikeluarkan jika tidak dibantu dengan peralatan dokter. Biasanya dokter di RS akan menyuruh saya menjalani fisioterapi dengan cara mengalirkan uap ke saluran pernapasan saya dan dilanjutkan dengan pemanasan di daerah dada.

Singkatnya,saya jadi tidak bisa bernafas.

Waktu itu semua obat yang saya minum nampaknya tidak mempan melawan gejolak serangan virus.Malamnya saya menginap di rumah tante saya. Saya batuk terus-terusan. Setiap sehabis batuk, jika beruntung, saya bisa mengeluarkan sebagian dahak.Tapi jika tidak,semakin sering batuk, membuat saya semakin susah untuk bernafas. Waktu di Balikpapan dulu, kasusnya selalu ditangani dengan cepat. Orang tua saya yang di satu sisi begitu sayang dengan anak sulungnya itu selalu sigap membawa saya ke UGD kapanpun sya menunjukkan gejala kurang menyenangkan. Saat ini, mereka ada dua jam jauhnya menggunakan pesawat.Otomatis, sbnarnya saya sendirian,karena om dan dua tante saya sama sekali tidak berpengalaman dalam urusan begini.

Mungkin saya memang kurang beruntung malam itu.

Saya sudah dibawa ke UGD sebuah rumah sakit terkenal di Bandung.Waktu itu saya masi bisa bernafas walaupun tidak seperti ketika keadaannya normal. Dokter di UGD berkata bahwa saya masi bisa rawat jalan dan hanya mengalirkan uap ke saluran pernapasan saya. Karena om saya tidak punya mobil,malam itu kami harus minta tolong sama tetangga om saya yang kebetulan baik hati mau meminjamkan mobilnya plus menjadi supir dadakan.Akhirnya kami pulang lagi ke rumah om saya, di daerah Kopo. saya ingat itu mungkin sekitar jam 2 pagi, dan akhirnya saya bisa juga tidur agak enakan selama satu jam di ruang TV, sebelum akhirnya saya dan tante yang lebih tua memutuskan untuk tidur di kamar.

Tante saya yang lebih tua, jauh lbh suka tinggal di Balikpapan daripada di Bandung,hehe...dan itulah yang beliau ulang-ulangi ketika saya lagi-lagi batuk2 parah di kamar.

"Ngapain to mba, sekolah jauh dari orang tua...sudah tau keadaan fisiknya begitu. Masih aja nekat. Sudah habis ini pulang aja ke Balikpapan. Ga usah jauh sekolah di Bandung."

Seriusan,kata-kata itu terus bergaung dan diulang oleh tante saya sepanjang perjalanan kami yang kedua kalinya ke UGD. Kali ini, kejadiannya begitu tiba2. Saya tidak bisa bernafas sama sekali jika tidak benar-benar dipaksa. Saya keluar dari kamar, tiba-tiba merasa sesak dan benar-benar tidak bisa bernafas. Belum pernah saya merasa setegang itu. Saking tidak bisa bernafasnya,untuk berbicara saja saya sudah tidak kuat.Saya terduduk di kursi tamu, memegangi leher saya selagi om dan kedua tante saya langsung menghambur ke ruang tamu. Om saya langsung meraih jaket dan siap2 menelepon tetangganya untuk pinjam mobil lagi. Saat itu jam 4 pagi, saya sudah tidak bisa lagi berkata-kata,hanya memakai isyarat.Nafas saya sudah putus-putus,layaknya udara di sekitar saya tiba2 dibuat lenyap.Saya berusaha sekuat tenaga untuk bisa bernafas, tapi itu malah membuat dada saya semakin sakit. Lagi dan lagi, saya mencoba menenangkan diri. Detak jantung saya sudah berpacu dengan tenaga saya untuk bernafas. Jika ada saat-saat dalam hidup yang ingin saya lupakan dan tidak mau saya ulangi lagi adalah saat-saat itu (dan beberapa tahun kemudian, saat ujian kompre di TK ITB -________-).

Saya menyambar hp saya. Saya ingat tanggal hari itu.10 Oktober.

Orang tua saya masi belum tahu. Semua orang panik. Dan waktu itu saya bertanya-tanya, apakah ini adalah hari terakhir dalam hidup saya.

Karena tiba-tiba pikiran itu muncul entah darimana, saya merinding.Mendadak saya menyadari betapa tidak berdayanya manusia melawan kematian.Kita bisa kehilangan nyawa hanya dengan cara seperti ini:

Tuhan mengambil nikmat bernafas dari kita.
Begitu sederhana.

Tidak perlu ada tragedi berdarah-darah seperti kecelakaan atau semacamnya. Tidak perlu dengan penyakit fenomenal seperti kanker atau leukemia.Untuk kasus saya, penyebabnya cuma gara-gara flu.Ya,cuma flu.

Setelah kejadian malam itu, saya jadi ekstra hati-hati. Flu yang bagaimanapun, sekecil dan seremeh apa pun. Belum lagi saya punya segudang kegiatan di SMA, karena pada dasarnya saya tidak bisa diam (bawaan dari lahir nampaknya). Tapi sepanjang SMA, tidak terelakkan saya harus sekitar 6 kali masuk RS. Penyebabnya sama persis. Untuk ke sekian kalinya, nafas saya kembali putus-putus. Bahkan setelah diberi selang oksigen oleh perawat, tidak ada efek sama sekali.Akhirnya yang bisa saya lakukan adalah duduk di tempat tidur saya. Memandangi jam. Waktu itu untuk ke sekian kalinya saya menjadi penghuni RS, saya masuk sekitar jam 11 malam. Dan saya harus mengerahkan seluruh tenaga saya untuk bernafas,posisi duduk (berbaring mustahil karena membuat makin susah untuk bernafas), mata terjaga penuh, sampai jam 5 subuh, ketika hari berganti dan perawat akan datang untuk membersihkan ruangan. Dan selama 6 jam itu, saya merasakan betapa dekatnya saya dengan yang namanya kematian.Jika pada detik-detik penentu itu saya memutuskan menyerah dan tidak kuat lagi untuk berusaha bernafas, saya tidak akan bisa berada di sini dan share cerita ini pada teman-teman.

Bernafas, harusnya tidak akan  semenderita dan sesakit itu.
Semestinya.

Tinggal semangat hidup saja, yang membuat saya bisa bertahan melalui malam-malam paling mengerikan dalam hidup saya,,berjuang setengah mati hanya untuk bisa tetap bernafas.

Ketika pada akhirnya ketika orang tua dan adik saya datang untuk pertama kalinya ke Bandung sejak saya merantau, saya bilang terus terang,"Saya benar-benar nyaris mati waktu itu." Mama saya langsung berkata "Hush" dan menyuruh saya diam.Oke,setidaknya hikmah terbesar saya adalah, saat itu saya begitu bahagia Allah masih mengizinkan saya bertemu dengan keluarga saya lagi. Dan tekad saya untuk tetap sekolah di Bandung, mencoba untuk hidup mandiri sejak umur 14 tahun, bisa saya bayar dengan menggondol peringkat pertama tanpa cela dari pertama masuk sampai lulus SMA. Saya pikir2, mungkin inilah hikmahnya dengan bersabar melalui itu semua...If we still believe in Him :).




Friday, August 17, 2012

K-Observer #2: Seniority is number ONE!

Orang Korea yang paling muda itu:
1. Mesti rela disuruh-suruh ma senior, n ga boleh ngebantah lo (tapi dalam hal yang baik)
2. Kalo pas makan bareng, mesti nuangin minuman (entah air putih atau soju) ke gelas para seniornya lbh dahulu, baru ke gelasnya sendiri. Hal yang sama berlaku dengan makanan.
3. Disuruh makan paling banyak,apalagi kalau makan bareng n masi ada sisa makanan XD
4. Sebelum seniornya meletakkan sumpit (tanda selesai makan), ga boleh beranjak duluan dari meja makan. Hal yang sama berlaku saat memulai makan. Sangat ditekankan untuk menunggu yang lebih tua untuk memulai makan terlebih dahulu.

K-Observer #1: Tradisi

Di Korea, tradisi bisa jadi sangat penting. lebih penting dari agama atau semacamnya. Sejauh yg saya bs pahami, orang Korea sangat teguh memegang ajaran Konfusianisme, walaupun pada kenyataannya kebanyakan mereka atheis dan tidak percaya Tuhan.


Thursday, August 16, 2012

#3 Childhood

Saya terpekur menatap deretan foto-foto di rumah salah seorang teman, kejadiannya sudah sangat lama...saat saya masih belajar berhitung dan senang berlari-lari main lupus. Teman saya yang beruntung itu mempunyai ayah yang sering dikirim dinas ke luar negeri, hebatnya di umurnya yang masih ingusan, teman saya itu sudah menjelajahi begitu banyak negara, kebanyakan di Eropa. Ketika saya masih sangat jauh bermimpi tentang bagaimana penampakan dunia di luar sana, teman saya sudah berfoto di pertanian Belanda, dengan latar belakang kincir anginnya yang terkenal.

Waktu ulang tahun saya, sekitar 8 tahun, hadiah yang saya minta adalah globe. yang besar. biar saya bisa menyusuri letak negara-negara dunia. Tante saya yang terkenal galak tapi sebenarnya baik itu hanya membelikan saya globe dengan ukuran paling kecil, dan saya harus memicingkan mata untuk melihat nama-nama negara di permukaannya. Tapi waktu itu saya cukup senang, dan menghabiskan waktu setelah pulang sekolah di depan meja belajar saya, mengamati globe pemberian itu sambil makan camilan. Begitu setiap hari.

Ketika teman saya asik main karet dan boneka, saya minta dibelikan buku pintar. bukan edisi junior, saya malah minta tiga-tiganya. edisi senior, junior, dan edisi Indonesia. Saya suka IPS semasa SD, dan saya rasa kesukaan itu datang dari hati saya yang paling dalam. Apalagi kalau menyangkut sejarah, saya yang paling sering mengacung di kelas. Walaupun saat beranjak besar saya memutuskan untuk masuk IPA dan akhirnya kuliah di engineering, saya tetap tidak bisa melupaka kesukaan saya terhadap sejarah dan geografi.

Namun, baru tahun lalu keinginan saya terkabul untuk menjelajah negara selain negara saya.

Saya benar-benar merasa itu adalah jawaban Allah swt atas mimpi saya di masa kecil. Mimpi yang selalu jadi semangat ketika rutinitas di sekitar saya sudah kelewat monoton. Apalagi ketika menjelang kesibukan skripsi, saya sudah hampir lupa mengurus diri saya sendiri. Jurusan saya adalah jurusan yang sulit dan berat, banyak orang yang sudah membuktikannya. Dan ketika saya bisa lulus dari sana dengan predikat cumlaude, saya pikir itu adalah hadiah tertinggi yang bisa saya berikan untuk kedua orang tua saya, dan sekaranglah saatnya untuk memilih jalan hidup saya sendiri.

lanjut S2! di luar negeri! yang jauh!

Orang tua saya tidak langsung merestui, mengingat saya sudah merantau sejak SMA. Saya hanya bertemu orang tua saya kalau libur lebaran dan kenaikan kelas, dan itu sudah berlangsung selama 7 tahun. Mereka ingin saya langsung kerja tapi...hhhhh...kok sayanya yg ga bersemangat kalau nyangkut urusan ini. Bagi saya kerja itu = terikat = butuh komitmen yg kuat. Sedangkan saya, komitmen saya adalah nomaden alias mengembara (hahahaha).

Dan semua episode ttg impian masa kecil saya diputar ulang ketika saya menginjakkan kaki di Incheon International Airport, the best airport in the world in 2012 versi skytrack.

Klise ya. Saya sudah menyiapkan mimpi2 saya lagi untuk 10 20 tahun lagi!!

dan mari berdoa agar Allah swt dapat memeluk mimpi2 kita seperti Ia memeluk mimpi2 Andrea Hirata di Laskar Pelangi.


Wednesday, August 15, 2012

#2 Korea

FirmanNya dalam Alquran:
Berjalanlah kamu di muka bumi...

dan Dia menyebut ttg hijrah.
Rasulullah juga harus berhijrah sebelum Islam menjadi besar, dan keluar sebagai the real rahmatan lil alamin.

saya jg, dengan penuh kepercayaan diri kala itu.
melamar beasiswa ke korea, tanpa bermodalkan ijazah (karena belum lulus)...
cuma waktu itu saya benar2 tergila-gila dengan negeri ginseng itu dan bermimpi untuk berhijrah kesana.

akhirnya pengumumannya keluar dan nama saya tercantum. saat itu saya sudah resmi lulus dr ITB walau belum resmi diwisuda. Saya bahagia luar biasa, saya memeluk ibu saya yg kebetulan sedang ada di dekat saya. Langsung berita itu tersiar ke keluarga di borneo. dan teman-teman saya di bandung ikut berbahagia dan mengucapkan selamat.

Toh akhirnya saya sudah di Korea. dan setahun berlalu sejak kejadian itu.
Saya berhijrah untuk ke sekian kalinya. sekarang jauh lebih berat karena saya berada di negeri orang, jauh berbeda dengan negeri kampung halaman saya.

Well, ini sudah menginjak tahun ke-9 sejak pertama kali saya melangkahkan kaki saya tuk merantau. Perjalanan pertama saya dimulai ketika umur saya baru 14 tahun, dan saya diterima untuk melajutkan SMA di bandung...

dan sekarang korea.

Banyak cerita yang akan saya bagikan tentang episode ini. Karena sejujurnya, saya berubah selam setahun ini. Hijrah ke Korea benar2 memulai babak baru dalam hidup saya.

Another my zero point.

Saya mengalami semua pahit manisnya hidup sebagai mahasiswa di Korea, lengkap dengan plus plusnya karena saya muslim.
dan saya memakai hijab.

saya akan berbagi dan terus bercerita.
semoga dapat memberi warna, dan hikmah tuk siapa saja yang membacanya.

Cheers.




#1 Betrayal

hahaha.
berlebihan ga ya pake judul ini.

tapi intinya. saya g tau lg istilah apa yg lbh tepat buat menggambarkan kejadian yg membuat saya hampir saja meninggalkan dunia tulis menulis.

kejadiannya sudah lumayan lama. 5 taun yg lalu.

sebutlah dia S. dia adalah teman se-SMA saya. well, saya pikir...
kami sama-sama hobi nulis. berbeda dengan saya, S sangat rajin mengirimkan artikel dan karyanya ke media massa dan lomba-lomba, dan berkat persahabatan dengannya, saya merasa tergerak juga untuk rajin nulis yg berbau sedikit non fiksi. tadinya saya hanya berkutat dengan cerpen dan novelet saja. ini bener2 cerita lama, n saya akhirnya membongkar jg lewat post ini setelah saya kubur dalam2 selama lima tahun.

kami pernah nulis bareng untuk surat kabar, dan dia jg sering melihat karya2 saya di komputer. saya biarkan saja toh dia itu teman saya (lagi-lagi, betapa polosnya). dan kmi sering diskusi brg ttg lomba2 yang akan datang. akhirnya suatu saat ada lomba menulis cerpen berskala nasional yg kami sepakati untuk ikut. saya menulis dan mengerahkan segala kemampuan saya utk menghasilkan cerpen itu.

Cerpen itu, well, telah selesai dan saya krimkan ke panitia lomba lewat pos. Lama tidak ada kabar. Saya pikir saya tidak menang. Dan saya kembali biasa saja, walaupun sempet sedih jg berhubung cerpen itu saya buat dengan susah payah. apalagi saya dedikasikan cerpen itu buat ibu saya.



Cerpen itu berjudul
"Saat kuingin waktu berpihak padaku" :)

cerpen yang tragis, kisah di dalamnya tragis, dan cerpen itu sendiri bernasib tragis.

Saya sedang tak ingin menguak luka lama. dan karena ini dapat dibaca oleh banyak orang, saya juga tak ingin mencari masalah dengan "teman" lama saya itu.

Saya hanya ingin bercerita. semoga tidak ada lagi yg bernasib tragis seperti saya.

Singkatnya, teman saya itu berkata, "cerpenmu itu kata panitianya terlalu berat dan tidak kelihatan seperti buatan anak SMA" dia kala itu menghibur saya yang bertanya tanya kenapa tidak ada kabar dari pihak panitia lomba. Saya manut saja. Padahal aneh sekali, kenapa dia bisa tahu dan apa urusannya dia sampai panitia lomba itu berkata soal cerpen saya ke teman saya itu?tapi saya terlalu malas untuk menyelidiki. dan setelah itu waktu berlalu.

dan saya mestinya lupa.

saya mestinya lupa dan semua baik2 saja.


Tapi saat itu sudah menjelang akhir dari masa SMA kami. semua siswa dan teman2 saya tegang menghadapi UAN dan SPMB yang semakin mendekat. Saya sibuk ikut bimbel, dan hari itu saya iseng memungut koran yang teronggok di meja resepsionis di bimbel saya.

Saya membuka-buka koran hari itu. tepat sekali mata saya membaca sebuah cerpen di kolom harian itu- cerpen yang saya buat dgn susah payah untuk disubmit ke lomba cerpen beberapa bulan yang lalu.malah mungkin hampir setahun yang lalu.

Cerpen saya.
Dan ada nama teman saya sebagai pengarangnya.

Dan saat itu saya menangis. Menangis sambil tak henti-hentinya membaca cerpen yang saya buat pertama kali untuk sebuah lomba.

cerpen itu sangat berarti buat saya. untuk ibu saya.
dan teman saya itu dengan mudahnya mensubmit cerpen itu ke surat kabar atas namanya.

Saya memang bodoh kala itu.
Saya datangi dia beberapa hari kemudian, tapi dia tidak mau mengaku.
Saya masih baik, saya tidak pernah mempermasalahkan hal itu lagi.

Tapi saya juga tidak mau menyapanya lagi,


Saya berdoa, semoga kejadian ini bisa menjadi batu loncatan saya agar saya bisa lebih giat belajar dan masuk ke perguruan tinggi yg saya impikan.
dan saya diterima.

di ITB, di jurusan dengan passing grade paling tinggi pula.

Dan saya mendengar, kalau cerpen itu disubmit jg ke lomba cerpen yang lain, dan hebatnya cerpen itu juara satu.
Hebatnya
S tidak pernah mau mengaku.


Dan saya melipat memori pahit itu, mencernanya, dan akhirnya membagikannya pada hari ini, 5 tahun kemudian, agar bisa menjadi pelajaran yg sama untuk teman-teman yang juga punya hobi menulis seperti saya.

"jangan pernah percaya dan memerlihatkan karyamu pada siapapun"
"jangan hanya menulis, tapi publikasikanlah!jangan hanya menunggu, tapi bergeraklah!"
Itu adalah kejadian, yang membuat saya berhenti menulis.


*Link untuk membaca cerpen ini ada di sini : http://beta.matapelajar.com/cerita/saat-kuingin-waktu-berpihak-padaku
*saya mencantumkannya semata-mata karena saya ingin teman-teman membaca cerpen ini dan ikut merenungi kisahnya, dan syukur2 bisa mengerti perasaan saya kala itu. hanya itu. dan cerita ini biar saya bagikan, tanpa ada dendam sedikit pun. biarlah orang yang menilai :) saya bahkan tidak tau siapa yg mem-postkannya.


#0 (Re-Zero)

Ramadhan 2012,

Aku pikir ini adalah waktu yang tepat.
dan ini adalah blogku yang kelima, rasa-rasanya sudah bisalah dikatakan berpengalaman dalam hal tulis menulis.

Haha.
Padahal engga.


Aku dedikasikan blog ini murni untuk berbagi cerita, dan merangkum cecer-ceceran jejak yang usang berumur hampir 23 tahun...yah,syukur-syukur banyak yang baca dan terinspirasi. kira-kira kalau cukup beruntung mungkin ada penerbit yang bisa dilirik untuk menumpang publish.Hhehe.

Ini adalah titik nolku.
Dan mulai dari titik ini, aku akan menyebut diriku "saya" supaya bisa lebih menyentuh semua kalangan :)

Perkenalkan, saya Laras. cukup Laras saja.
Hobi baca dari kecil (sekarang sudah g bisa dibilang kecil lagi), dan sejak smp tergerak untuk menulis.
Namun kejadian saat tahun terakhir di SMA membuat saya sakit hati, dan mencoba melupakan dunia yang sudah saya tekuni selama 6 taun...alasannya cukup mengejutkan saya, dan sempat ingin saya tulis jadi cerpen. karena kasusnya saat itu saya dikhianati teman saya. seumur-umur saya belum pernah diperlakukan seperti itu, dan sejak saat itu saya "sakit". dan tidak pernah sembuh sepenuhnya sampai sekarang :).

Jika ada yang tertarik mengetahui kisah "pengkhianatan" itu, saya akan berbagi di post berikutnya. kalau ada yang berkomentar, akan saya tampug dengan senang hati.

Ah iya, saya muslim. sekarang sedang menempuh pendidikan S2 di Seoul, South Korea.
Saya lahir di pelosok pulau Borneo bagian timur, cukup beruntung untuk mengenyam pendidikan tinggi S1 di Teknik Kimia ITB (almamater kebanggaan saya) dan sekarang hijrah ke Korea.

Saya punya banyak cerita.
terlalu banyak.

dan blog ini mungkin tidak akan muat.tapi marilah kita menghela nafas sejenak.
Saya orang yang religius (setidaknya saya berusaha untuk itu) dan blog ini adalah bagian dari perjalanan saya untuk mengharapkan ridhaNya.

Semua cerita yang saya bagikan adalah kisah nyata saya.
Opini dan hasil analisis berdasarkan pengalaman saya.
Well,saya hanya orang biasa.
dan mungkin cerita yang saya bagikan juga terkesan biasa saja.

Tapi saya ingin semua itu berdampak luar biasa kepada setiap orang yang membacaya.
termasuk saya, untuk introspeksi.

Saya ingin mengucapkan terima kasih.
Ini adalah titik awal saya.

Let's share~