Total Pageviews

Thursday, December 20, 2012

#4 Between life and death

Bagaimana rasanya jika batas antara hidup dan mati itu sangat tipis?Mungkin tragedi paling "berdarah" seumur hidup saya adalah saat saya harus masuk UGD dengan dagu robek pas TK nol besar dulu. TKPnya adalah lantai rumah saya, saksinya adalah pembantu dan adik saya yang baru lahir beberapa bulan.Sore yang damai, karena waktu itu papa saya masi di kantor dan mama sedang asik di kamar. Saya yang kebetulan memang dilahirkan mempunyai sifat sedikit hiperaktif dan provokatif sedang mencoba "mainan" baru saya, gaya gasing. Caranya gampang: tinggal memutarkan tubuh berulang-ulang sampai sensasi pusing itu sampai pada puncaknya, lalu berhenti dan menikmati sensasi pusing yang tersisa. Lantai,langit-langit kamar,pembantu yang menyuapi adik saya, semuanya berputar dan tiba-tiba mengabur, menciptakan perasaan "fly" yang luarbiasa untuk anak seumuran saya. Saya langsung ketagihan, dan terlebih beberapa saat kemudian, saya jatuh bebas dengan dagu duluan menghantam lantai.

Saking kerasnya bunyi yang ditimbulkan, mama saya sampai keluar dari kamar. Seingat saya,saya cuma bisa menatap ke bawah, ke arah tangan saya yg tiba2 dibanjiri dengan darah segar. Mama saya yang pada dasarnya takut dengan darah tergopoh2 mengambil handuk (bukan tisu lagi) untuk menutupi robek di dagu saya. Untungnya mama saya waktu itu tidak sampai pingsan seperti waktu adik saya dikhitan beberapa tahun kemudian.

Handuk putih itu langsung berubah warna dengan cepat. Saya menangis sekeras-kerasnya.Ga kebayang sakitnya waktu itu.Setelah itu saya langsung dilarikan ke UGD dan dijahit 4 jahitan. Bekasnya masi ada sampai sekarang, 18 tahun kemudian.

Tapi tentu saja itu bukanlah inti dari post-an ini. Yang ingin saya share adalah satu momen yang benar-benar membuat saya sadar, bahwa kematian itu benar-benar sangat dekat dengan kehidupan kita. "Mati" bukanlah suatu hal yang terdengar asing dan mustahil, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat mengingat umur kita yang masih muda, dan bukanlah harus selalu berhubungan dengan "tragedi berdarah-darah"...

Kejadiannya di tahun pertama kepindahan saya ke Bandung, waktu saya baru saja merayakan ulang tahun saya ke-15.Pertama kalinya hidup jauh dari orang tua, saya memang cuma bermodalkan nekat. Bayangkan, mencuci piring saja jarang, masak belum pernah sama sekali. Mencuci dan menyetrika apalagi. Untuk urusan pergi kemana-mana, papa dan mobilnya selalu siap mengantar. Nae angkot sendirian saya belum pernah seumur hidup hahaha. Intinya, saya benar-benar memulai "hidup baru" saya waktu merantau ke kota kembang itu. Modalnya apa?ya nilai raport saya.Sisanya nekat.

Kalau dipikir-pikir,ujian di tahun pertama SMA saya itu sangat-sangat berat memang. Tapi alhamdulillah saya termasuk anak yang keras kepala dan keras hatinya, jadi semuanya bisa dibilang bisa dilalui dengan penuh perjuangan dan (lagi-lagi) agak-agak di luar perhitungan. Saya dikaruniai om dan tante dari keluarga mama yang sangat-sangat perhatian. Ditambah lagi tante saya yang lain, masih dari keluarga mama, yang mau menemani saya di bulan-bulan pertama kepindahan saya.Sejujurnya,merekalah yang berjasa membuat saya bisa merasa nyaman dan kerasan di Bandung...tapi memang nampaknya,masalah yang tersisa ada pada diri saya.

Sejujurnya, saya bukanlah sesehat yang kelihatan di luar. Saya sakit-sakitan sejak masuk SMP, dan sudah langganan keluar masuk RS di kampung halaman saya di Balikpapan.Walaupun sama sekali bukan sakit yang serius, tapi tetap saja membuat saya sering diopname setidaknya seminggu.Lagi Allah masih mengasihani orang tua saya, karena biaya RS ditanggung sepenuhnya oleh pihak kantor. Sakitnya sepele, cuma gara-gara flu padahal.



Sebelum kejadian itu,saya belum pernah serius memikirkan tentang kematian.

Pada hari itu,saya sudah lama flu.Karena flu adalah penyakit yang terlalu populer,saya pun sudah rutin mengonsumsi obat yang menjadi bekal wajib saya sejak berada jauh dari rumah.Papa saya adalah seorang apoteker, dimana kulkas rumah kami sejak dulu dipenuhi dengan berbagai jenis obat jenis cair; meja makan di ruang tngah dihiasi keranjang rotan cantik yang (parahnya) berisi obat2an tablet, dan rak buku rumah kami terdeteksi dua buku super tebal dengan sampul merah bertuliskan "Farmakope", yang baru-baru ini ketika kuliah di ITB saya sadari sebagai buku saktinya anak farmasi.

Pikir saya,agak gawat ini karena ketika flu datang,rentetan peristiwanya pasti:
hidung tersumbat-bersin-radang tenggorokan-batuk berdahak-.....

ujung2nya RS.kalo saya.

Saya kurang mengerti apa istilah kedokterannya.Tapi sepertinya dahak yang diproduksi oleh tubuh saya terlalu melampaui kapasitas penampungan tenggorokan saya. Akibatnya dahak tersebut berkumpul dan menutup saluran pernapasan, karena setelah sekian lama, dahak yang tidak keluar itu mengeras dan akhirnya menggumpal, membuatnya makin susah untuk dikeluarkan jika tidak dibantu dengan peralatan dokter. Biasanya dokter di RS akan menyuruh saya menjalani fisioterapi dengan cara mengalirkan uap ke saluran pernapasan saya dan dilanjutkan dengan pemanasan di daerah dada.

Singkatnya,saya jadi tidak bisa bernafas.

Waktu itu semua obat yang saya minum nampaknya tidak mempan melawan gejolak serangan virus.Malamnya saya menginap di rumah tante saya. Saya batuk terus-terusan. Setiap sehabis batuk, jika beruntung, saya bisa mengeluarkan sebagian dahak.Tapi jika tidak,semakin sering batuk, membuat saya semakin susah untuk bernafas. Waktu di Balikpapan dulu, kasusnya selalu ditangani dengan cepat. Orang tua saya yang di satu sisi begitu sayang dengan anak sulungnya itu selalu sigap membawa saya ke UGD kapanpun sya menunjukkan gejala kurang menyenangkan. Saat ini, mereka ada dua jam jauhnya menggunakan pesawat.Otomatis, sbnarnya saya sendirian,karena om dan dua tante saya sama sekali tidak berpengalaman dalam urusan begini.

Mungkin saya memang kurang beruntung malam itu.

Saya sudah dibawa ke UGD sebuah rumah sakit terkenal di Bandung.Waktu itu saya masi bisa bernafas walaupun tidak seperti ketika keadaannya normal. Dokter di UGD berkata bahwa saya masi bisa rawat jalan dan hanya mengalirkan uap ke saluran pernapasan saya. Karena om saya tidak punya mobil,malam itu kami harus minta tolong sama tetangga om saya yang kebetulan baik hati mau meminjamkan mobilnya plus menjadi supir dadakan.Akhirnya kami pulang lagi ke rumah om saya, di daerah Kopo. saya ingat itu mungkin sekitar jam 2 pagi, dan akhirnya saya bisa juga tidur agak enakan selama satu jam di ruang TV, sebelum akhirnya saya dan tante yang lebih tua memutuskan untuk tidur di kamar.

Tante saya yang lebih tua, jauh lbh suka tinggal di Balikpapan daripada di Bandung,hehe...dan itulah yang beliau ulang-ulangi ketika saya lagi-lagi batuk2 parah di kamar.

"Ngapain to mba, sekolah jauh dari orang tua...sudah tau keadaan fisiknya begitu. Masih aja nekat. Sudah habis ini pulang aja ke Balikpapan. Ga usah jauh sekolah di Bandung."

Seriusan,kata-kata itu terus bergaung dan diulang oleh tante saya sepanjang perjalanan kami yang kedua kalinya ke UGD. Kali ini, kejadiannya begitu tiba2. Saya tidak bisa bernafas sama sekali jika tidak benar-benar dipaksa. Saya keluar dari kamar, tiba-tiba merasa sesak dan benar-benar tidak bisa bernafas. Belum pernah saya merasa setegang itu. Saking tidak bisa bernafasnya,untuk berbicara saja saya sudah tidak kuat.Saya terduduk di kursi tamu, memegangi leher saya selagi om dan kedua tante saya langsung menghambur ke ruang tamu. Om saya langsung meraih jaket dan siap2 menelepon tetangganya untuk pinjam mobil lagi. Saat itu jam 4 pagi, saya sudah tidak bisa lagi berkata-kata,hanya memakai isyarat.Nafas saya sudah putus-putus,layaknya udara di sekitar saya tiba2 dibuat lenyap.Saya berusaha sekuat tenaga untuk bisa bernafas, tapi itu malah membuat dada saya semakin sakit. Lagi dan lagi, saya mencoba menenangkan diri. Detak jantung saya sudah berpacu dengan tenaga saya untuk bernafas. Jika ada saat-saat dalam hidup yang ingin saya lupakan dan tidak mau saya ulangi lagi adalah saat-saat itu (dan beberapa tahun kemudian, saat ujian kompre di TK ITB -________-).

Saya menyambar hp saya. Saya ingat tanggal hari itu.10 Oktober.

Orang tua saya masi belum tahu. Semua orang panik. Dan waktu itu saya bertanya-tanya, apakah ini adalah hari terakhir dalam hidup saya.

Karena tiba-tiba pikiran itu muncul entah darimana, saya merinding.Mendadak saya menyadari betapa tidak berdayanya manusia melawan kematian.Kita bisa kehilangan nyawa hanya dengan cara seperti ini:

Tuhan mengambil nikmat bernafas dari kita.
Begitu sederhana.

Tidak perlu ada tragedi berdarah-darah seperti kecelakaan atau semacamnya. Tidak perlu dengan penyakit fenomenal seperti kanker atau leukemia.Untuk kasus saya, penyebabnya cuma gara-gara flu.Ya,cuma flu.

Setelah kejadian malam itu, saya jadi ekstra hati-hati. Flu yang bagaimanapun, sekecil dan seremeh apa pun. Belum lagi saya punya segudang kegiatan di SMA, karena pada dasarnya saya tidak bisa diam (bawaan dari lahir nampaknya). Tapi sepanjang SMA, tidak terelakkan saya harus sekitar 6 kali masuk RS. Penyebabnya sama persis. Untuk ke sekian kalinya, nafas saya kembali putus-putus. Bahkan setelah diberi selang oksigen oleh perawat, tidak ada efek sama sekali.Akhirnya yang bisa saya lakukan adalah duduk di tempat tidur saya. Memandangi jam. Waktu itu untuk ke sekian kalinya saya menjadi penghuni RS, saya masuk sekitar jam 11 malam. Dan saya harus mengerahkan seluruh tenaga saya untuk bernafas,posisi duduk (berbaring mustahil karena membuat makin susah untuk bernafas), mata terjaga penuh, sampai jam 5 subuh, ketika hari berganti dan perawat akan datang untuk membersihkan ruangan. Dan selama 6 jam itu, saya merasakan betapa dekatnya saya dengan yang namanya kematian.Jika pada detik-detik penentu itu saya memutuskan menyerah dan tidak kuat lagi untuk berusaha bernafas, saya tidak akan bisa berada di sini dan share cerita ini pada teman-teman.

Bernafas, harusnya tidak akan  semenderita dan sesakit itu.
Semestinya.

Tinggal semangat hidup saja, yang membuat saya bisa bertahan melalui malam-malam paling mengerikan dalam hidup saya,,berjuang setengah mati hanya untuk bisa tetap bernafas.

Ketika pada akhirnya ketika orang tua dan adik saya datang untuk pertama kalinya ke Bandung sejak saya merantau, saya bilang terus terang,"Saya benar-benar nyaris mati waktu itu." Mama saya langsung berkata "Hush" dan menyuruh saya diam.Oke,setidaknya hikmah terbesar saya adalah, saat itu saya begitu bahagia Allah masih mengizinkan saya bertemu dengan keluarga saya lagi. Dan tekad saya untuk tetap sekolah di Bandung, mencoba untuk hidup mandiri sejak umur 14 tahun, bisa saya bayar dengan menggondol peringkat pertama tanpa cela dari pertama masuk sampai lulus SMA. Saya pikir2, mungkin inilah hikmahnya dengan bersabar melalui itu semua...If we still believe in Him :).




No comments:

Post a Comment