Total Pageviews

Friday, July 25, 2014

Buku "The Alchemy of Air" di mata seorang lulusan teknik kimia



Kurang dari 3 hari,dan buku setebal 353 hal itu sudah habis saya lahap. Prestasi yang tidak ada apa-apanya jika tidak memperhitungkan kali terakhir saya sanggup menyelesaikan sebuah buku (mungkin setahun yang lalu),minat yang rendah pada buku-buku biografi,dan kondisi mata yang sudah letih berkat minus yang membesar secara eksponensial sejak kuliah.

Dan,lebih gilanya lagi,buku ini memaksa saya untuk menulis di blog saya yang sudah lama menganggur.

Buku The Alchemy of Air, datang dari tangan yang tepat, di saat yang tepat,dan (saya berharap) pada orang yang tepat pula. Sambil membacanya, saya berandai-andai bagaimana jika saya membaca ini 3 tahun lebih awal, saat saya masih menyusuri dinding-dinding batu dengan tanaman rambat di Jl.Ganeca no.8, menenteng buku-buku tebal dari Smith-van Ness sampai Perry, dan hampir merasa muak melihat bangunan bercat biru langit yang tampak angkuh di kejauhan, labtek X (lebih dikenal dengan labtek biru), gedung jurusan teknik kimia ITB.

Pada kenyataannya, saya tidak pernah merasa menyukai teknik kimia, jurusan saya, sampai taraf signifikan dibanding setelah membaca buku ini.

Ketika pertama kali melihat sampulnya, dan sedikit review dari para majalah dan penerbit buku terkenal tentang buku ini, saya sejenak tertegun. Buku ini datang begitu saja, dibagikan secara gratis oleh pihak perusahaan tempat saya bekerja, dan memang saya harus bilang perusahaan itu adalah perusahaan teknik kimia teranyar di negeri ini. Pupuk, komoditas utama perusahaan itu, sudah menjadi barang yang kelewat terkenal, dicari oleh siapapun yang bergantung pada agro-bisnis. Tampaknya Pak Dirut yang jeli tahu isi buku ini akan mendobrak pikiran dan jiwa-jiwa karyawan mudanya yang penuh semangat, namun masih dapat ditingkatkan untuk memberikan loyalitas sepadan. Saya, yang sudah memasuki tahun ke -7 saya berkecimpung di dunia "tungku,pompa,dan reaktor",bukan pengecualian.

Saya merasa bangga,tertampar,terkaget-kaget,dan sedih sekaligus. Di sisi lain saya belum pernah merasa seberterima kasih ini pada pengarangnya,Thomas Hager, yang sudah susah payah menerjemahkan sebuah fenomena penciptaan pupuk oleh dua orang jenius yang berakhir tragis dalam sebuah kisah mirip novel yang sangat menagih, tapi juga sangat menyesal mengapa saya tidak membaca buku yang serupa jauh lebih banyak dan jauh lebih awal, ketika saya masih mencari jati diri saya di tengah kumpulan desain penukar panas dan kolom distilasi, ketika jenuh melanda hati dan pemikiran saya tentang apa sebenarnya yang bisa membuat saya mencintai teknik kimia dengan tulus.

Saya tahu saya tidak sendirian.

Saya selalu menyukai sejarah dari kecil. Fenomena kiamat yang digambarkan buku ini di awal tentang prediksi akan punahnya umat manusia di akhir abad 19 karena ketidaksanggupannya menyokong bahan makanan dengan cara tradisional buat saya melebihi kengerian karena krisis energi atau efek rumah kaca di abad 21. Makanan adalah hal yang luar biasa vital. Ini tentang hidup atau mati 2 milyar umat manusia pada zaman itu. Saya bahkan tak pernah terbayang bagaimana zaman sekarang akan sama sekali berbeda, andaikan Fritz Haber menyerah dengan penelitiannya untuk membuat NH3 sintetis, dan Carl Bosch memutuskan untuk mundur dari rancangan tungku bakarnya yang meledak berkali-kali karena reaksi dengan hidrogen akut, dan tidak pernah mendirikan pabriknya di Oppau. Singkatnya, Haber yang seorang kimiawan berhasil mengungkap yang zaman dulu lebih dikenal dengan sebutan "sihir" dan "batu bertuah". Ia tidak hanya membuat milyaran orang dapat hidup, tapi juga melipatgandakannya. Ia memanipulasi udara, ia menciptakan kehidupan. Efek yang bahkan menyaingi sebuah "batu bertuah" manapun. Sedangkan Bosch, layaknya utusan dari langit yang menerjemahkan karya Haber jadi pabrik-pabrik sebesar kota, dengan teknologi yang tidak pernah terbayangkan pada masanya. Ia murni seorang engineer yang terlalu berbakat, usahawan sukses, diplomat ulung, yang mendobrak definisi teknik kimia untuk selama-lamanya. Dibandingkan Haber, Bosch mungkin jauh lebih berjasa. Haber menghasilkan ammonia sebesar cangkir dari peralatan seluas meja kerja, sedangkan Bosch mengembangkannya jadi sebuah mahakarya dengan ukuran ribuan ton ammonia per hari.

Disinilah inti dari segalanya. Arti dari teknik kimia itu sendiri.

Saya bahkan lupa kapan pertama kali saya membaca tentang reaksi Haber-Bosch, mungkin di SMA, mungkin membacanya lagi dengan intensitas yang lebih sering saat saya kuliah. Saya melupakannya dengan mudah. Mungkin karena saya menghujani otak saya dengan ratusan jenis proses, ribuan rumus dan reaksi kimia, dan tak terhitung banyaknya hukum dan teori-teori praktis, rules of thumbs, dan desain pabrik dan merasa tidak sanggup lagi. Saya sampai pada tahap ketika saya ingin lulus secepatnya dan berkhianat, mungkin mencari kerja di bidang yang tidak ada teknik kimianya sama sekali. Ketika tugas akhir saya rancangan pabrik, dosen pembimbing saya mengatakan dengan jelas dan masih terngiang di kepala saya dan kedua partner saya, "kalian ini sama sekali tidak punya sense of engineering". Kami baru mendapat persetujuan beliau di hari terakhir pengumpulan TA, dengan sangat khawatir kami tidak bisa memenuhi syarat lulus ketika itu. Saya memperhatikan angka-angka yang tertera di transkrip akademik saya ketika saya lulus, dan ternyata di mata kuliah teknik, saya hanya rata-rata. Yang mendongkrak IPK saya hampir semuanya berasal dari mata kuliah non-teknik.

Saya tidak bisa menyalahkan siapapun. Saya sendiri adalah orang yang ulet dan suka fisika dan kimia, yang seharusnya menjadi modal yang cukup. Tapi segala hal yang berhubungan dengan pabrik membuat saya gerah, mungkin karena saya memang tidak pernah membayangkan ilmu perancangan proses yang diejawantahkan dalam serangkaian menara pendingin raksasa, tungku api seperti neraka, dan pipa-pipa luar biasa besar, pompa-pompa yang menderu, dan alat penukar panas yang bentuknya tidak menarik, akan menjadi penentu nasib saya ke depan. Apa yang dilakukan Bosch di buku ini benar-benar menelanjangi pandangan saya tentang bagaimana seharusnya seorang teknik kimia itu. Bosch sendiri adalah seorang teknik mesin, dengan wawasannya yang tak terbatas soal teknik kimia dan metalurgi. Tapi dia jauh lebih "teknik kimia" dari siapapun. Kejeniusannya dikenal luas sebagai peraih nobel kimia tahun 1931. Tapi dia adalah seorang engineer sejati, bukan kimiawan. Dan karyanya mengabadi sampai sekarang, setidaknya di perusahaan yang saya geluti sekarang, namanya akan sering terdengar.

Dan sehabis membaca buku ini, saya merasa ada kehilangan yang besar. Hanya sedikit buku yang pernah saya baca meninggalkan dampak yang sebesar ini. Mungkin karena apa yang dikupas buku ini benar-benar sesuatu yang begitu akrab bagi saya. Saya pernah merasakan frustasi yang sama seperti Haber ketika melakukan penelitian untuk S2 saya, dan saya begitu terikat dengan setiap langkah dan keputusan yang Bosch buat, demi mewujudkan makanan dari udara dalam jumlah besar. Yang ditunjukkan oleh buku ini adalah sebuah totalitas yang luar biasa, sebuah pengabdian yang membawa keduanya sampai pada titik dimana yang ada hanya kemunduran dan kehancuran. Hidup di sebuah masa di mana Jerman terlibas dua kali perang dunia, tidak ada yang mudah bagi kedua tokoh ini. Tapi mereka bertahan dan menyeret segenap kemampuan mereka untuk maju, walau tertatih, walau pada akhirnya mereka harus menyerahkan jiwa mereka pada setan, dan menjadi asal muasal pembuat TNT dan bahan peledak modern. Mereka lahir dari sebuah niat yang sangat mulia, mengubah udara menjadi apa yang kita makan sekarang ini. Namun, manusia adalah manusia. Ketika yang satu terobsesi untuk menjadi pahlawan bagi negaranya harus terbuang dengan tidak hormat karena ia seorang Yahudi. Ketika yang satu sangat terobsesi dengan maha karyanya sehingga melakukan kerja sama yang menjadi motor penggerak perang dunia paling tragis dalam sejarah umat manusia.

Setidaknya, saya akhirnya mengerti, berkaca pada Bosch. Berkaca pada Haber. Berkaca pada kisah hidup mereka. Seorang teknik kimia memang tidak boleh melupakan sejarah, kadang dari sanalah sebuah motivasi yang luhur tercipta. Sebuah mahakarya yang baru akan lahir.

Saya berdoa, sebagai seorang teknik kimia. Semoga ilmu saya berkah dan memberkahi orang-orang di sekeliling saya. Saya tidak akan pernah bisa sejenius Haber, atau seulet Bosch. Namun akan selalu ada hikmah, selalu ada arti dalam setiap langkah yang sudah dibuat. Indonesia masih sangat membutuhkan karya para insiyur teknik kimianya, bahkan dalam tahap yang sangat kritis. Walaupun kecil, walaupun nyaris tidak berarti, semoga ini menjadi awal untuk segalanya. Dan keputusan saya untuk kembali menekuni bidang ini, kembali ke negeri ini demi kemajuan bangsa yang sangat tertinggal ini, dapat terbayar di kemudian hari.

Semoga tidak lama.
Aamiin.

(Sebuah perenungan)
Ramadhan 28th,2014

Catatan: it's been a long time...saya termasuk orang yang memandangi para dosen saya dengan putus asa di tiap kuliah dan seminar, dan bertanya-tanya mengapa mereka mengajarkan semua itu. Yang diberikan buku ini melebihi seluruh motivasi yang saya dapatkan selama saya kuliah.

This book is all-time recommended!
:)



Tuesday, February 4, 2014

Balikpapan: 5 Alasan untuk Mencintai (dan Mengasihani) Kota ini

It's a gift, as I may say, to be born in this small city... (mungkin sekarang ia telah berubah menjadi salah satu kota besar yang berkembang pesat)

Kota Balikpapan
Sumber: Skycrapercity


Howdy, Balikpapan? It has been 10 years since the last time I left this city. Sebelumnya, saya lahir dan besar di sana, sampai akhirnya lulus dr SMP, saya memutuskan "hijrah" demi pendidikan yang lebih baik.

Should I say about this...?Mungkin ini adalah salah satu kelemahan kota ini, dan mungkin juga kota2 lainnya di Kalimantan...sebagai anak daerah, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri betapa tertinggalnya pendidikan tinggi di kota ini dibanding di pulau Jawa...dan ketiadaan institusi pendidikan yg setara itulah yg akhirnya memaksa saya utk pindah ke Bandung. This is a sad reality...tapi semestinya pihak Diknas Balikpapan dan PemKot sudah menyadari, dan mulai mencari solusi utk meningkatkan kualitas pendidikan buat anak daerah.

However, despite of that, Balikpapan is just what most of Indonesian people really dream of...

1. Balikpapan is the real deal for multinational oil company n stuff! Klo soal kekayaan alamnya, KalTim jgn ditanya...Di Balikpapan, kamu bisa melihat para ekspat nyaris sama banyaknya sama di Ibukota. Kmu bisa temuin berbagai macam perusahaan asing (mostly oil n gas n service company) berseliweran bak cendawan di musim hujan. Balikpapan dari dulunya emg dikenal sebagai "kota Minyak", bukan karena di Balikpapan ada lapangan minyak sebenarnya, tapi segala pusat aktivitas perminyakan seperti pusat penyulingan Pertamina ada di kota ini. Ga heran taraf hidup di Balikpapan setinggi langit. Kota ini bener2 jual jasa, dibanjiri pendatang ribuan dari pulau Jawa, n ngasi standard kerja yg tinggi. Banyak yang senang, tapi banyak juga yang mengeluh. Contoh nyatanya: angka pengagguran yang bertambah dari tahun ke tahun (http://www.balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=97411).

Kilang Minyak di Balikpapan
Sumber: msudarmanfiles.wordpress.com
 2. Balikpapan is unarguably one of the cleanest cities in Indonesia. Well, you know why. Dengan 15 raihan Adipura sampai tahun 2013 lalu, saya cuma bisa geleng2. Dari zaman saya baru bisa merangkak, kota ini sudah membanggakan dari segi kebersihan kotanya. Saya masih ingat masa ketika walikota Balikpapan masih Tjutjup Soeparna, lalu Imdaad Hamid, dan akhirnya sekarang Rizal Effendi...Balikpapan sangat-sangat menjaga kredibilitasnya yg satu ini (catatan: dengan sangat-sangat ketat). Ketika Jakarta masi mimpi dengan Ciliwungnya yg mampet karena sampah, atau Bandung yang dijuluki "The City of Pigs" http://venusgotgonorrhea.wordpress.com/2014/01/16/bandung-the-city-of-pigs/, Balikpapan lebih dari 20 tahun yg lalu sudah memiliki komitmen utk menjadi yg terbersih dr yg terbersih.

Predikat kota terbersih ke-2 di Asean pada tahun 2011 katagori clean land juga diraih, membuat siapapun yg mengetahuinya berdecak kagum. Nyatanya, mungkin karena tinggal di Balikpapan inilah, saya jadi sadar betul pentingnya menjaga kebersihan. Sejak SMP saya berkomitmen tidak akan pernah buang sampah sembarangan lagi. Kebiasaan ini sy bawa ketika hijrah di Bandung...ga peduli betapa "apatis"nya lingkungan di sekitar saya soal kebersihan. Yang lbh membahagiakan, ketika saya tinggal di Seoul, ibukota Korea Selatan yg sudah sangat maju ini ternyata tidak lebih bersih dari kampung halaman saya. Apalagi ketika malam tiba, tumpukan sampah masih bisa terlihat di beberapa sisi jalan (walaupun tidak parah dan sampai dibiarkan menumpuk lama2 seperti yg biasa kita lihat di kota2 di Indonesia).

Waduk Manggar
Sumber: http://green.kompasiana.com


Is that the end? NO. Balikpapan pernah dua kali gagal meraih piala Adipura. 2008 dan 2011. Semestinya itu jadi bahan introspeksi yg benar2 dipikirkan.Dan sekarang, ancaman banjir makin jadi anggapan "biasa", padahal dulu tidak pernah begitu...Hati-hati, semua itu berawal dari seseuatu "yang dibiasakan".

3. Balikpapan is like from another planet. Semua tahu ibukota Kaltim bukan Balikpapan. Semua tahu Balikpapan hanyalah kota kecil di pinggiran Borneo. Tapi kota ini tidak pernah mengajarkan saya ttg kemacetan. Tidak pernah mengajarkan saya ttg kerusuhan. Hidup di Balikpapan seperti hidup di suatu wilayah yang damai, tertib, dan hebatnya, sangat menenangkan. Pusat kotanya kecil, ke mana-mana dekat, dan walaupun pusat hiburan terbatas di kota ini, saya bisa menghabiskan 14 tahun hidup saya tanpa harus merasa bosan. Ruang hijau terbukanya sangat diperhatikan, hutan kotanya dijaga.

Cuma saya agak khawatir dengan perkembangan terakhir yang saya dengar...dengan makin tumbuhnya bangunan2 tinggi dan maraknya industri properti di Balikpapan. Sampai kapan infrastruktur jalan yang ada (yang sangat terbatas) bisa menampung laju bertambahnya kendaraan? Macet sudah mulai terasa nampaknya...terutama di Jl. Ahmad Yani...apalagi di TelagaSari isu longsor makin jadi momok yang bisa jadi bumerang kapan saja. Pemkot semestinya harus lebih memutar otak untuk merencanakan tata ruang yang berkelanjutan...ga hanya bicara satu periode kepemimpinan saja, tapi 20 sampai 50 tahun ke depan. Saya agak terganggu dan merasa "sedikit" meradang ketika mendengar di Balikpapan di bekas Puskib akan dibangun sebuah Supermal oleh Pemprov Kaltim...Saya tahu itu adalah daerah rawan banjir, saya tahu itu lambat laun akan mengakibatkan kemacetan yang parah jika tidak segera ditindaklanjuti. Saya tahu warga Balikpapan termasuk DPRDnya sebenarnya menolak keras. Saya sedih, karena saya termasuk yang menyadari betapa efek sampingnya untuk jangka panjang sangat-sangat memprihatinkan.

 4. Balikpapan, kota yang sarat prestasi. Selain kebersihan, tata ruang dan ketertiban lalu lintasnya juga menjadi langganan penghargaan. Pada 2013 yang lalu saja, Balikpapan berhasil memboyong 4 penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup (http://balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=93751). Sayang beribu sayang, Balikpapan memang miris, sering menjadi anak tiri di KalTim sendiri. Akhir2 ini konflik antara Pemkot Balikpapan dan Pemprov KalTim makin marak saja. Mulai dari diputusnya anggaran cuma jadi 100 miliar, pembangunan Supermal yang penuh prokontra, sampai akhirnya wacana pengubahan nama bandara Sepinggan oleh Pak Gubernur Awang Faroek (http://www.beritasatu.com/nusantara/161088-warga-tolak-perubahan-nama-bandara-sepinggan.html).

Seumur2, saya baru mendengar adanya penolakan besar2an seperti ini: suatu hal yang di satu sisi menunjukkan betapa kompaknya warga kota Balikpapan...tapi di sisi lain menjadi masalah baru karena pihak Pemprov yang (menurut saya) berusaha memaksakan kehendaknya lewat hal2 yang (menurut saya) tidak urgen sama sekali. Apakah jika nama Bandara Sepinggan tidak diganti lantas Pemprov akan rugi triliunan rupiah dan bangkrut? Sampai sekarang saya masih bingung dan tidak habis pikir...bukan berarti itu bukan usulan yang baik, tetapi cara Pak Gubernur itu yang saya tidak suka. Jika rakyat memang menolak, ya sudahlah...Mengapa harus dipaksa dan memaksa? Masih banyak masalah lebih penting yang seharusnya menjadi perhatian bersama..seperti pendidikan, lapangan kerja, dsb dst...

5. The most important thing of all: Please appreciate the man behind the gun. Kunci sukses Balikpapan?entahlah. Saya bukan pakar perkotaan. Tapi saya tahu alasan utamanya adalah warga Balikpapan yang juga mencintai kota ini. Saya ga akan bilang 100% seluruh penduduknya sadar dan mau membuang sampah pada tempatnya misalnya..tapi gaung dari orang2 yg peduli ttg kebersihan itu jauh lbh terdengar di Balikpapan. Pemkotnya, warganya, dan media lokalnya, semuanya kompak untuk terus mempertahankan Adipura sampai kapanpun. Inilah yang membuat saya sangat-sangat mencintai kota saya.

"Beriman" bukan hanya motto. "Kubangun, kujaga, kubela" bukan hanya kata picisan di brosur dan koran2, tapi berakar di budaya masyarakatnya.

::Bagaimana menurut teman-teman?Apakah teman-teman pernah berkunjung ke Balikpapan?Bagaimana kesannya?Apakah teman-teman punya pendapat tentang tantangan Balikpapan ke depan?Jangan ragu buat kasi komentar ya :) Terima kasih!!




Friday, January 17, 2014

Bulutangkis Indonesia: Menang itu dimulai dari "dalam",bukan sebaliknya

Ketika para pemain bulutangkis Indonesia melangkah di pentas kompetisi internasional, dengan lawan yang peringkat di atas kertas jauh lbh unggul, apakah yang ada di pikiran mereka?

"Aku pasti menang."
atau
"Aku akan berjuang."
atau
"Ya udahlah menang kalah itu kan biasa.."
atau??

Kalo kata Bapak Icuk Sugiarto, mantan juara dunia dari tunggal putera, pemain kita di generasi sekarang bukan lemah, dan tentunya bukan itu alasan mengapa prestasi Indonesia di bulutangkis seperti lari di tempat.
Letaknya di sini, di dalam "hati". Para pemain kita, siapa sih yang meragukan skill atau pengalaman mereka? Pelatihnya saja mantan-mantan legenda di dunia bulutangkis...tapi sayangnya, mungkin hanya sedikit dari mereka yg mewarisi teknik permainan ini dengan sepenuh hati. Hmm...maybe they can play badminton, but they didnt really love it to the core...

Well, itu risiko. Itu adalah dampak psikologi paling umum. Ketika seseorang sudah menjadi ahli di suatu bidang, maka generasi penerusnya akan "terbuai" oleh kebesaran masa lalu. Yang ada bukan "semangat" utk berkembang, tapi "beban". Pada akhirnya, para pemain muda kita (yang saya paling takutkan), mereka tidak tahan menerima kekalahan, mereka hanya dilatih untuk bermain bagus, bermain cantik, tapi mereka tidak diajarkan untuk kalah, bagaimana mengatasi ketertinggalan angka, dan lebih penting lagi, bagaimana bangkit dari ketertinggalan tersebut.

Melihat permainan para pemain kita, jika dia sudah sering juara, lambat laun mentalnya akan "terangkat". Semuanya berasal dari pengalaman. Tapi bahkan seorang juara pun sebelumnya harus merangkak dari nol, merasakan pahit getirnya persaingan dengan negara adidaya bulutangkis seperti China. Indonesia, di era kejayaannya, tidak dipersiapkan untuk menghadapi fenomena ini...Well, mungkin ini adalah bagian mental bangsa kita, yang selalu pasrah dan nerimo. Duh, masalahnya di dalam dunia olahraga, mental kaya gini itu racun bgt. Sama aja kaya kita uda kalah sebelum kalah. Ketika pertandingan masih setengah jalan dan kita tertinggal, yang ada para pemain kita lebih melihat ke arah "kalah" dibandingkan ke "menang"nya. Akhirnya uda bisa ditebak. Boro2 ngejar angka, yang ada malah dipermalukan.

Gimana ya, saya kangen sama pemain bulutangkis Indonesia yg memiliki mental pemenang.
Negara kita butuh orang2 yg ulet, yg ga mau kalah sampai detik terakhir, yg mau berjuang mati-matian (dalam arti sebenarnya) kalau uda di dalam lapangan.

Lapangan, sama aja kaya medan tempur kalo bagi para atlet.

Ketika kita kalah, sebenarnya itu adalah hal paling tabu. Untuk negara sebesar Indonesia, seharusnya atlet2 kita berpegang teguh dengan kalimat "winning is not EVERYTHING, winning is the ONLY THING."

Ayo Pak Gita Wirjawan dan para pengurus PBSI yang terhormat, kalo emang beneran NIAT mengembalikan kejayaan Indonesia, mau gak mau harus diambil langkah ekstrem. Saatnya melihat kembali ke "dalam" diri pemain, bukan hanya penampakan di "luar". Karena sebuah kedigdayaan hanya bisa dikalahkan dengan kegigihan dan ketenangan hati :)

Thursday, December 26, 2013

When our "life" are abruptly taken away (in Jakarta traffic jam) part 2: Korea insight

Sy tidak tahu kpn persisnya sy mulai bermimpi untuk datang ke Korea.

Singkatnya, well, impian itu terwujud ketika sy duduk di semester 8 di teknik kimia ITB, hasil dari sekelumit perjuangan utk mendaftar beasiswa S2. Dgn latar belakang orang teknik yg hidup di Bandung 7 tahun lamanya, satu-satunya pengalaman spektakuler sy dengan transportasi umum adalah "angkot". Angkot merajai hampir di setiap sudut kota kembang, dan sy masih terbata-bata dlm mengingat rute2nya sampai sekarang. Hidup sy di Bandung, kemampuan sy menghafal penjuru kotanya, dan keberanian sy berpetualang di dalamnya, sangat dipengaruhi oleh jalur angkot dan supirnya.

Pernah ketika sy memutuskan utk nae angkot dr depan BIP menuju kosan sy, sopir angkot Dago-Kalapa yg saya naiki harus berjibaku dan menunjukkan kemampuan luar biasanya utk memotong lalu lintas yg macet, mencari celah utk melarikan diri dr kejaran mobil polisi karena menolak ditilang. Sayangnya, adegan kejar-kejaran ala action movie itu terjadi tepat di hari ulang tahun sy.

Bandung dan angkotnya, tidak akan pernah sy lupakan dr sejarah hidup sy. Bandung yg macet krn limpahan org dr Jakarta dan sekitarnya setelah dibukanya tol Cipularang, Bandung yg hingar-bingar dan semrawut.

Pengalaman sy yg lain berasal dari ingatan masa kecil sy, ketika sy lahir dan besar di sebuah kota kecil bernama Balikpapan, Kalimantan-Timur. Balikpapan, di ingatan saya adalah sebuah kota dimana macet adalah istilah yg tidak pernah ada dalam kamusnya. Angkutan umum yg ada di kota itu dikenal dengan sebutan "taksi", yg wujudnya ternyata sama dengan "angkot" yg ada di kota Bandung. Namun, perbedaan besarnya adalah taksi di Balikpapan yg cenderung sepi dan tidak sesemrawut yg ada di kota kembang itu. Sy pikir populasi juga memiliki pengaruh besar. Ketika sy tinggal di sana, penduduk Balikpapan tidak sampai setengah juta jiwa (sy krg tahu kalau sekarang). Sy baru tahu kereta api ketika sy bepergian ke Jawa. Kereta api sudah sgt umum digunakan oleh penduduk di pulau Jawa untuk bepergian ke luar kota. Relnya sj sudah ada sejak zaman Belanda.

Well, ketika sy memutuskan utk berhijrah ke Bandung sejak SMA, sy sempet shock dgn betapa padatnya dan semrawutnya kota Bandung. Sy yg cuma anak daerah, terbengong-bengong dgn kinerja sopir angkot di Bandung yg cenderung ugal-ugalan dan tukang ngetem. Jauh lebih bermartabat supir "taksi" di kota asal sy sejujurnya. Setelah 7 thn menjadi warga kota kembang, sy akhirnya berkesempatan utk menjadi warga kota paling padat di Korea, Seoul.

Dan inilah yg menjadi batu loncatan yg paling mengguncang hati nurani serta pengetahuan sy ttg bgmn seharusnya kota dengan transportasi umum yg baik itu, hahahaha.

1. Sy ga pernah menyangka kalau sistem kereta itu bs menjadi tranportasi umum yg efektif dari dan menuju airport. Hal ini baru sy sadari ketika sy tinggal di Seoul. Sejak hr pertama sy menginjakkan kaki di Incheon airport, sy otomatis membandingkan airport Soetta dengan airport Incheon. Lebih gilanya, ketika sy datang, ada tulisan di spaduk besar2 di salah satu dinding airportnya "Welcome to Incheon International Airport, the World's best airport for 5 consecutive years" lalu ada embel2 Skytrax.

Sy bener2 takjub. WHAT? Beneran ni?? The best airport in the world? Sudah sejauh apa airport Soetta ketinggalan ma airport di Korea ini?

Katanya merdekanya cuma beda 2 hari ya, Indonesia ma Korsel. Hehehe (ketawa miris).

Maafkan kalau sy pada dasarnya udik, tp kadang sy bangga dengan kedaerahan sy. Sy seumur2 ke luar negeri waktu itu cuma buat umrah. Tapi bahkan airport di Jeddah dgn di Incheon sudah kalah jauh. Dr terminal kedatangan setelah melalui imigrasi, sy diantar pake kereta bawah tanah menuju pengambilan bagasi. Sy langsung terbengong-bengong tapi takjub. Airportnya segede apa sih? Niat amat ya cuma di airportnya pake kereta segala...Wah, ya bener aja kali titel the best airportnya kalau fasilitas airportnya aja uda kaya gini.

Setelah itu, sy mengambil bagasi sy, keluar, dan dijemput oleh slah satu teman lab saya. Kami berdua memutuskan untuk naik kereta dr Bandara Incheon menuju Seoul. Perjalanannya cukup panjang, sekitar 1.5 jam. Pemandangan dari dalam kereta sungguh2 mencengangkan. Karena bandaranya ada di sebuah pulau, dan Seoul sendiri ada di daratannya, kebayang betapa niatnya pemerintah Korea membangun jalur kereta dr pusat kota ke sebuah pulau terpencil. Sy lagi2 baru ngeh klo ternyata kereta itu bs dijadiin transportasi yg keren bgt buat nganterin orang dari dan ke bandara. Lagi2, sy mencatat kenyataan ini dlm hati. Kapan Indonesia, kapan Indonesia?

Jalur kereta bawah tanah dari Incheon International Airport yang terintegrasi dengan Seoul metro line
2. Kejutannya belum selesai sampai di sana. Belum habis kekaguman sy dgn airport railroadnya bangsa Korea, kami harus transfer dr jalur aiport menuju Seoul metro line 6, yg menuju ke stasiun dekat tempat tinggal kami, Sangwolgok station. Singkatnya, perjalanan sejauh itu diakhiri tanpa harus menyentuh kendaraan roda empat sama sekali! Saya sampai di dormitory dengan perasaan campur aduk, bahkan sy lupa kalau hari itu sy lagi shaum ramadhan, cuma sempat tidur sejam di pesawat, dan lelah setgh mati sehabis perjalanan berlarut2 (karena mesti transit dulu di Kuala Lumpur). Dan sy baru menyadari kalau ternyata kereta itu bisa sekeren dan seefisien ini kalau dijadiin transportasi umum dalam kota!! Kalau ngomongin betapa terintegrasinya sistem Seoul metro, sy harus berkata bahwa Seoul adalah salah satu kota dengan sistem transportasi umum paling nyaman di dunia! Ini kenyataan yg luar biasa membanggakan, bahkan bagi bangsa Korea sendiri.

Metro Seoul luar biasa nyaman, tepat waktu, tersedia dalam 4 bahasa (Korea, English, China, Japan), dan stasiunnya hampir ada di mana2, layaknya rute angkot Bandung. Pengalaman sy menjelajah di Seoul dan Korea sgt tergantung pada jaringan metro dan keretanya. Dan sy tidak pernah mengenal kata "macet" itu di sini, di sebuah ibukota yg paling padat penduduknya di Korea (10 juta jiwa), selama 2 tahun sy berinteraksi dengannya.

Jika sy ingin bepergian, yg harus sy lakukan adalah mengecek smartphone. Aplikasi metro subwaynya sudah sangat canggih shingga kita bisa tahu jam kedatangan dan posisi kereta, serta jalur paling cepat yg bisa kita lewati hanya dengan sekali klik. Jarak asrama sy dengan stasiun kereta paling dekat tidak sampai 300 m. Dan dari sana, sy dapat berkeliling ke mana saja di Seoul dgn kereta api bawah tanahnya yg sgt2 terpercaya dan aman.

What more I could wish for?

Hanya dgn dua keunggulan tadi, cara pandang sy ttg suatu kota bisa berubah drastis. Hanya dgn kenyamanan di sistem transportasi umumnya sj, sy bisa bilang sy ingin tinggal di Seoul selamanya. Ketika cerita ini dimulai, sy belum pernah merasakan tinggal di Jakarta. Dan ketika sekarang sy sudah menjadi warga Jakarta, sy selalu berdoa agar Jakarta dapat menjadi seperti Seoul.

Makanya sy bahagia, super bahagia ketika akhirnya kebiajakan monorel ma MRT itu jebol juga di tangan pemprov DKI sekarang. Seneng bgt, akhirnya ada juga secercah harapan utk mengoperasi "kemacetan" Jakarta langsung dr sumbernya: reduksi para pengguna kendaraan motor pribadi.

Yah, percaya aja dah. Contohnya aja uda jelas bgt di depan mata. Semua negara maju uda pake sistem itu. Kitanya kok masi nyantai2...huff... 

Sy yakin, kita bisa kok.Tinggal bersabar dan tetap dukung program yang sedang berjalan. Semoga semuanya emang lancar dan pada akhirnya negara ini bisa lebih bermartabatlah ibukotanya :)





Saturday, December 14, 2013

When our "life" are abruptly taken away (in Jakarta traffic jam) part 1

Saya bukanlah asli warga Jakarta, saya cuma pendatang. Baru sekitar 5 bulan sy menjadi bagian dr Ibukota. Sy juga belum familiar dgn jalan2nya, cuma...

hanya satu yg telah begitu akrab dan mencuri perhatian saya: KEMACETAN.

Kemaren sy memutuskan bepergian dgn TransJakarta (well,sy memang benar2 mengandalkan transportasi ini krn sy g punya kendaraan pribadi) dr daerah Jl.Gatsu ke arah S.Parman. Hujan deras luar biasa pas siangnya, membuat suasana agak sendu2 menghanyutkan, apalagi ditambah lautan mobil yg ga bergerak sama sekali. Jalur busway kami kosong melompong, tidak ada bus satupun. Nampak beberapa pengendara yg luar biasa susah diatur menggeloyor di jalur busway yg bukan haknya. Santai, tanpa ekspresi. Tidak ada jejak dari para penertib lalu lintas memang...bingung kl uda begini, mereka2 (para pelanggar hak publik) itu dibilang pemberani iya tp pengecut jg iya.

Balik lagi ke topik.

Sy mungkin baru kali ini berada dlm kondisi yg tidak mengenakkan, harus bepergian di saat jam pulang kantor plus sehabis hujan pula...sy tidak menyalahkan siapa2, alam apalagi. sy dan penumpang lainnya yg berjejalan di dalam bus tanpa pandang bulu, harus meringkuk sekitar 1.5 jam tanpa dapat tempat duduk, dimana seharusnya perjalanan itu harusnya bisa ditempuh hanya dlm waktu 30 min saja (kl dlm situasi normal). Satu2nya yg memberi harapan dr TJ adalah ACnya yg masi berfungsi baik, seengganya berjubel pun tak apa asal ga sampai sesak nafas krn kurang oksigen...tp selain itu, angkutan TJ yg menjadi satu2nya angkutan umum terintegrasi di Ibukota saat ini tidak menawarkan hal lain. Bus kami merana di jalur yg dikorup  oleh pengendara jalan lainnya, bergerak maju cuma satu dua meter lalu berhenti. Melihat jalur biasa malah tambah sedih lg. Ga bergerak sama sekali. IRONISnya lagi, jalur tol dalam kota yg sejajar dgn kami juga hebatnya macet total. Luar biasa kota ini, sy membatin.

Lalu lintas Jakarta ini sakit, sakit parah. Kalo macet itu kanker, stadiumnya uda 4. Dan anehnya, yg membuat sy geleng2 dlm hati adalah fungsi tol dalam kota yg seharusnya membantu mengurangi tingkat kemacetan, sekarang di hadapan sy tak ubahnya sistem yg lumpuh kaki tangannya. Warga suruh bayar mahal buat tol, tp akhirnya seperti kena tipu. Karena yg bikin titik2 kemacetan di kota ini adalah gerbang2 tol itu sendiri sebenarnya. Banyaknya penerobos jalur TJ ternyata jg mereka yg mau masuk dan baru keluar tol. Inilah keanehan yg melanda kota ini.

Siapa sih dulu nyaranin bangun jalan tol dalam kota?

Sumber:http://id.citramarga.com/operasional/jalan-tol-lingkar-dalam-kota-jakarta/
Setelah sedikit meneelusuri lewat mbah wiki, ternyata jalur tol dalam kota itu cuma ada tiga bagian sampai saat ini:
  • Cawang-Tomang-Pluit Toll Road
  • Harbor Toll Road
  • Ir. Wiyoto Wiyono Toll Road
Dan biaya tolnya pun dimulai dari Rp 6500, alias dalam kata lain ni jalan ga akan mungkin ditujukan tuk seluruh rakyat...The one who pays only...alias kalangan mereka yang punya mobil (yang punya motor lewaat) dan mampu membayar (sy yg g punya kendaraan pribadi jelas uda g masuk hitungan sejak awal...)

Sedihnya, mereka yg termasuk dalam kalangan ini tu siapa? Berapa persen dr warga Ibukota coba?

Hahaha, sy bukan org Jakarta. Dan tulisan ini pun sy buat dr kacamata sy sbg org yg baru berinteraksi dgn Jakarta beberapa bulan. Jadi sy cuma ingin menyampaikan kejanggalan yg sy amati di lapangan: "Mengapa dr dulu Jakarta tidak pernah terpikir utk langsung sj membangun jalur kereta dlm kota yg mumpuni, dibandingkan jln tol? Mengapa tidak pernah terpikir kalau tol dalam kota ini hanyalah suatu opsi yg berpikiran sempit dan egois?Mengapa dananya tidak dialokasikan sj utk membangun sistem transportasi massal yg bisa diakses oleh semua kalangan? Mengapa tidak dari dulu MRT dan monorel itu dicetuskan?Dan mengapa busway?Mengapa TJ?Dengan lahan jalan jakarta yg sudah sempit,mengapa harus lbh dipersempit lg dgn jalur TJ?Ketika disuruh beralih dr kendaraan pribadi ke transportasi umum seperti TJ, apa yg bisa TJ tawarkan?Apa keuntungan yg bisa diambil dr TJ?"

Jawabannya GA ADA. TJ jelas g bisa jd andalan n jaminan buat mereka utk meninggalkn kendaraan pribadi. Lagi2, kita semua berputar di tempat. Dan salah siapa? Well, itu bukan tujuan sy utk menyalahkan siapapun, sy cuma mu menunjukkan, kl masalah kemacetan di Ibukota itu sebenarnya bkn krn pemerintah kita tidak berbuat apa2, tetapi karena mereka berbuat tapi salah alamat. Yang sakitnya di paru-paru, tapi yang diobatinya mata. Yang akutnya di lambung tapi dioperasinya di bahu. Dan segala bentuk kemacetan ini sebenarnya bukan karena salah rakyat yg tiap tahun selalu beli kendaraan baru, tp karena memang kebijakannya tidak pernah berpikir utk membangun suatu sistem  lalu lintas dan transportasi masal yg jangka panjang, yg spenuh hati. Semuanya dijalankan tanpa pertimbangan matang, asal diliat rakyat ada hasil kerjanya saja, asal bisa dipilih lagi tahun berikutnya...

Sy baru baca tuh artikel ttg pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota yg (akhirnya) disetujui Pak Jokowi setelah tadinya beliau bersikeras untuk membatalkannya. Bayangkan, 42 M habis (lagi-lagi) cuma buat kalangan berduit. Lagi-lagi, alasannya karena rencana ini sudah disetujui oleh Wapres, mantan gubernur yg lama, plus plus rentetan alasan yg terus terang buat sy makin sedih. Lha, sy aja yg rakyat biasa aja tau kok kalau kebijakan itu g akan nguntungin sy, warga kecil yg kendaraan aja g ada...Untungnya setelah baca satu artikel yg ngejelasin bahwa tol ini nantinya akan dilalui TJ n angkutan umum lainnya, sy baru bisa sedikit bernafas. Ampun deh bapak2 pejabat di atas sana, segitu ga pekanyakah Anda dgn permintaan kami yg sederhana..kmi cuma mau bisa keliling Ibukota dgn nyaman, tanpa macet, tanpa banyak ngehirup CO2...

Inilah akibatnya.

Kalau kata Wagub Jakarta sekarang, pemerintah yg dulu itu cuma ngasi obat aja terus menerus, tapi g pernah mengoperasi di titik masalahnya.Sy dari sononya memang bukan pakar perkotaan, tp mau ga mau sy setuju dgn kebijakan pemprov Jakarta yg baru: Monorel dan MRT.

Karena memang itulah yang rakyat Jakarta butuhkan. Suatu alternatif transportasi massal baru, mencakup seluruh kalangan, bersih, sama sekali ga mengganggu jalan yg sudah ada, dan dapat mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi yg sudah overloaded ga karuan.

Trust me it works to heal this cancer.

Di London, jaringan kereta bawah tanah aja uda ada sejak 1863. Kita baru mulai 2013.

Well, ya udalah daripada ga bangun sama sekali...

Sampai beberapa bulan lalu, sy masi menghabiskan sebagian besar waktu sy di subway yg menghubungkan hampir setiap sudut kota Seoul. Korea merdeka hanya 2 hari sebelum Indonesia. Dan tebak, Seoul sebagai ibukotanya mempunya jaringan kereta bawah tanah terpanjang di dunia. Padahal mereka baru memulai pembangunan jalur kereta dalam kota di tahun 1970.

Sumber: http://www.jacebear.com/wp-content/uploads/2012/11/Seoul_Subway_Map.jpg
Well, how I adore this map so much :-*

Dan selama 2 tahun sy berkesempatan menjadi bagian dari warga kota Seoul, sy merasakan betapa nyamannya sebuah transportasi massal yg terintegrasi, modern, dan menjangkau semua sudut kota. G ada istilah macet. The big question is: "Kapan giliran kita?"

Bersambung di part 2

Thursday, August 1, 2013

#16 Day-38: Tour guide on the go!

Mulai hari ini, saya resmi menjadi tour guide dadakan untuk Bu Ina, seorang istri yang ramah dan baik hati yang kebetulan suaminya sedang dinas di Korea. Kecintaan Bu Ina dengan drama Korea membuat saya makin lengket dan langsung mengiyakan tawaran jadi private tour guide Bu Ina selama di Seoul. Bu Ina dan suami mendarat di Korea Minggu pagi, di bawah guyuran hujan yang setia mampir di tanah Korea sejak semingguan ini...saya menjemput Bu Ina langsung di Incheon airport, dan dimulailah sejak hari itu perjalanan seru kami mengelilingi Seoul dan Nami Island...

Malamnya saya menemani Bu Ina tidur di President Hotel, salah satu hotel yang letaknya strategis di tengah2 City Hall, Seoul :) wah kapan lagi saya merasakan tidur di hotel di Seoul sebelum balik ke Indo?wkkk

Tuesday, July 30, 2013

#15 Day-39 Ketto Building

Hujan seharian. Petang menjelang buka. Sehari sebelumnya.

Saya, mba Maya, dan mba Lisa baru berjalan pulang dari Homeplus. Belanjaan memenuhi ruang di kedua telapak tangan saya. Di bawah guyuran hujan, saya teringat janji saya untuk segera mencari apartemen untuk orang tua saya nanti ketika mereka datang ke Korea.

Ketto Building adalah tipikal apartemen yang keuntungannya dekat dengan asrama saya, bersih, dan lapang, ...hanya dengan membayar 80000 won per hari saja...namun sayangnya no telp yang saya hubungi selalu tersambung dengan ahjussi yang sama sekali tidak mengerti bahasa inggris...jadilah saya mesti tergagap2 menjelaskan bahwa saya ingin memesan kamar...sayangnya hari itu saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan pemilik Ketto Building,,sehingga harus diundur jadi keesokan hari, Sabtu, pukul 11 pagi.

Hari ini, ternyata pemilik apartemen lagi2 harus membatalkan janjinya untuk bertemu karena anggota keluarganya meninggal..huff...lagi2 di tengah guyuran hujan saya kembali ke asrama. Janji baru kembali dibuat, Senin jam 11 siang.