Total Pageviews

Friday, July 25, 2014

Buku "The Alchemy of Air" di mata seorang lulusan teknik kimia



Kurang dari 3 hari,dan buku setebal 353 hal itu sudah habis saya lahap. Prestasi yang tidak ada apa-apanya jika tidak memperhitungkan kali terakhir saya sanggup menyelesaikan sebuah buku (mungkin setahun yang lalu),minat yang rendah pada buku-buku biografi,dan kondisi mata yang sudah letih berkat minus yang membesar secara eksponensial sejak kuliah.

Dan,lebih gilanya lagi,buku ini memaksa saya untuk menulis di blog saya yang sudah lama menganggur.

Buku The Alchemy of Air, datang dari tangan yang tepat, di saat yang tepat,dan (saya berharap) pada orang yang tepat pula. Sambil membacanya, saya berandai-andai bagaimana jika saya membaca ini 3 tahun lebih awal, saat saya masih menyusuri dinding-dinding batu dengan tanaman rambat di Jl.Ganeca no.8, menenteng buku-buku tebal dari Smith-van Ness sampai Perry, dan hampir merasa muak melihat bangunan bercat biru langit yang tampak angkuh di kejauhan, labtek X (lebih dikenal dengan labtek biru), gedung jurusan teknik kimia ITB.

Pada kenyataannya, saya tidak pernah merasa menyukai teknik kimia, jurusan saya, sampai taraf signifikan dibanding setelah membaca buku ini.

Ketika pertama kali melihat sampulnya, dan sedikit review dari para majalah dan penerbit buku terkenal tentang buku ini, saya sejenak tertegun. Buku ini datang begitu saja, dibagikan secara gratis oleh pihak perusahaan tempat saya bekerja, dan memang saya harus bilang perusahaan itu adalah perusahaan teknik kimia teranyar di negeri ini. Pupuk, komoditas utama perusahaan itu, sudah menjadi barang yang kelewat terkenal, dicari oleh siapapun yang bergantung pada agro-bisnis. Tampaknya Pak Dirut yang jeli tahu isi buku ini akan mendobrak pikiran dan jiwa-jiwa karyawan mudanya yang penuh semangat, namun masih dapat ditingkatkan untuk memberikan loyalitas sepadan. Saya, yang sudah memasuki tahun ke -7 saya berkecimpung di dunia "tungku,pompa,dan reaktor",bukan pengecualian.

Saya merasa bangga,tertampar,terkaget-kaget,dan sedih sekaligus. Di sisi lain saya belum pernah merasa seberterima kasih ini pada pengarangnya,Thomas Hager, yang sudah susah payah menerjemahkan sebuah fenomena penciptaan pupuk oleh dua orang jenius yang berakhir tragis dalam sebuah kisah mirip novel yang sangat menagih, tapi juga sangat menyesal mengapa saya tidak membaca buku yang serupa jauh lebih banyak dan jauh lebih awal, ketika saya masih mencari jati diri saya di tengah kumpulan desain penukar panas dan kolom distilasi, ketika jenuh melanda hati dan pemikiran saya tentang apa sebenarnya yang bisa membuat saya mencintai teknik kimia dengan tulus.

Saya tahu saya tidak sendirian.

Saya selalu menyukai sejarah dari kecil. Fenomena kiamat yang digambarkan buku ini di awal tentang prediksi akan punahnya umat manusia di akhir abad 19 karena ketidaksanggupannya menyokong bahan makanan dengan cara tradisional buat saya melebihi kengerian karena krisis energi atau efek rumah kaca di abad 21. Makanan adalah hal yang luar biasa vital. Ini tentang hidup atau mati 2 milyar umat manusia pada zaman itu. Saya bahkan tak pernah terbayang bagaimana zaman sekarang akan sama sekali berbeda, andaikan Fritz Haber menyerah dengan penelitiannya untuk membuat NH3 sintetis, dan Carl Bosch memutuskan untuk mundur dari rancangan tungku bakarnya yang meledak berkali-kali karena reaksi dengan hidrogen akut, dan tidak pernah mendirikan pabriknya di Oppau. Singkatnya, Haber yang seorang kimiawan berhasil mengungkap yang zaman dulu lebih dikenal dengan sebutan "sihir" dan "batu bertuah". Ia tidak hanya membuat milyaran orang dapat hidup, tapi juga melipatgandakannya. Ia memanipulasi udara, ia menciptakan kehidupan. Efek yang bahkan menyaingi sebuah "batu bertuah" manapun. Sedangkan Bosch, layaknya utusan dari langit yang menerjemahkan karya Haber jadi pabrik-pabrik sebesar kota, dengan teknologi yang tidak pernah terbayangkan pada masanya. Ia murni seorang engineer yang terlalu berbakat, usahawan sukses, diplomat ulung, yang mendobrak definisi teknik kimia untuk selama-lamanya. Dibandingkan Haber, Bosch mungkin jauh lebih berjasa. Haber menghasilkan ammonia sebesar cangkir dari peralatan seluas meja kerja, sedangkan Bosch mengembangkannya jadi sebuah mahakarya dengan ukuran ribuan ton ammonia per hari.

Disinilah inti dari segalanya. Arti dari teknik kimia itu sendiri.

Saya bahkan lupa kapan pertama kali saya membaca tentang reaksi Haber-Bosch, mungkin di SMA, mungkin membacanya lagi dengan intensitas yang lebih sering saat saya kuliah. Saya melupakannya dengan mudah. Mungkin karena saya menghujani otak saya dengan ratusan jenis proses, ribuan rumus dan reaksi kimia, dan tak terhitung banyaknya hukum dan teori-teori praktis, rules of thumbs, dan desain pabrik dan merasa tidak sanggup lagi. Saya sampai pada tahap ketika saya ingin lulus secepatnya dan berkhianat, mungkin mencari kerja di bidang yang tidak ada teknik kimianya sama sekali. Ketika tugas akhir saya rancangan pabrik, dosen pembimbing saya mengatakan dengan jelas dan masih terngiang di kepala saya dan kedua partner saya, "kalian ini sama sekali tidak punya sense of engineering". Kami baru mendapat persetujuan beliau di hari terakhir pengumpulan TA, dengan sangat khawatir kami tidak bisa memenuhi syarat lulus ketika itu. Saya memperhatikan angka-angka yang tertera di transkrip akademik saya ketika saya lulus, dan ternyata di mata kuliah teknik, saya hanya rata-rata. Yang mendongkrak IPK saya hampir semuanya berasal dari mata kuliah non-teknik.

Saya tidak bisa menyalahkan siapapun. Saya sendiri adalah orang yang ulet dan suka fisika dan kimia, yang seharusnya menjadi modal yang cukup. Tapi segala hal yang berhubungan dengan pabrik membuat saya gerah, mungkin karena saya memang tidak pernah membayangkan ilmu perancangan proses yang diejawantahkan dalam serangkaian menara pendingin raksasa, tungku api seperti neraka, dan pipa-pipa luar biasa besar, pompa-pompa yang menderu, dan alat penukar panas yang bentuknya tidak menarik, akan menjadi penentu nasib saya ke depan. Apa yang dilakukan Bosch di buku ini benar-benar menelanjangi pandangan saya tentang bagaimana seharusnya seorang teknik kimia itu. Bosch sendiri adalah seorang teknik mesin, dengan wawasannya yang tak terbatas soal teknik kimia dan metalurgi. Tapi dia jauh lebih "teknik kimia" dari siapapun. Kejeniusannya dikenal luas sebagai peraih nobel kimia tahun 1931. Tapi dia adalah seorang engineer sejati, bukan kimiawan. Dan karyanya mengabadi sampai sekarang, setidaknya di perusahaan yang saya geluti sekarang, namanya akan sering terdengar.

Dan sehabis membaca buku ini, saya merasa ada kehilangan yang besar. Hanya sedikit buku yang pernah saya baca meninggalkan dampak yang sebesar ini. Mungkin karena apa yang dikupas buku ini benar-benar sesuatu yang begitu akrab bagi saya. Saya pernah merasakan frustasi yang sama seperti Haber ketika melakukan penelitian untuk S2 saya, dan saya begitu terikat dengan setiap langkah dan keputusan yang Bosch buat, demi mewujudkan makanan dari udara dalam jumlah besar. Yang ditunjukkan oleh buku ini adalah sebuah totalitas yang luar biasa, sebuah pengabdian yang membawa keduanya sampai pada titik dimana yang ada hanya kemunduran dan kehancuran. Hidup di sebuah masa di mana Jerman terlibas dua kali perang dunia, tidak ada yang mudah bagi kedua tokoh ini. Tapi mereka bertahan dan menyeret segenap kemampuan mereka untuk maju, walau tertatih, walau pada akhirnya mereka harus menyerahkan jiwa mereka pada setan, dan menjadi asal muasal pembuat TNT dan bahan peledak modern. Mereka lahir dari sebuah niat yang sangat mulia, mengubah udara menjadi apa yang kita makan sekarang ini. Namun, manusia adalah manusia. Ketika yang satu terobsesi untuk menjadi pahlawan bagi negaranya harus terbuang dengan tidak hormat karena ia seorang Yahudi. Ketika yang satu sangat terobsesi dengan maha karyanya sehingga melakukan kerja sama yang menjadi motor penggerak perang dunia paling tragis dalam sejarah umat manusia.

Setidaknya, saya akhirnya mengerti, berkaca pada Bosch. Berkaca pada Haber. Berkaca pada kisah hidup mereka. Seorang teknik kimia memang tidak boleh melupakan sejarah, kadang dari sanalah sebuah motivasi yang luhur tercipta. Sebuah mahakarya yang baru akan lahir.

Saya berdoa, sebagai seorang teknik kimia. Semoga ilmu saya berkah dan memberkahi orang-orang di sekeliling saya. Saya tidak akan pernah bisa sejenius Haber, atau seulet Bosch. Namun akan selalu ada hikmah, selalu ada arti dalam setiap langkah yang sudah dibuat. Indonesia masih sangat membutuhkan karya para insiyur teknik kimianya, bahkan dalam tahap yang sangat kritis. Walaupun kecil, walaupun nyaris tidak berarti, semoga ini menjadi awal untuk segalanya. Dan keputusan saya untuk kembali menekuni bidang ini, kembali ke negeri ini demi kemajuan bangsa yang sangat tertinggal ini, dapat terbayar di kemudian hari.

Semoga tidak lama.
Aamiin.

(Sebuah perenungan)
Ramadhan 28th,2014

Catatan: it's been a long time...saya termasuk orang yang memandangi para dosen saya dengan putus asa di tiap kuliah dan seminar, dan bertanya-tanya mengapa mereka mengajarkan semua itu. Yang diberikan buku ini melebihi seluruh motivasi yang saya dapatkan selama saya kuliah.

This book is all-time recommended!
:)



Tuesday, February 4, 2014

Balikpapan: 5 Alasan untuk Mencintai (dan Mengasihani) Kota ini

It's a gift, as I may say, to be born in this small city... (mungkin sekarang ia telah berubah menjadi salah satu kota besar yang berkembang pesat)

Kota Balikpapan
Sumber: Skycrapercity


Howdy, Balikpapan? It has been 10 years since the last time I left this city. Sebelumnya, saya lahir dan besar di sana, sampai akhirnya lulus dr SMP, saya memutuskan "hijrah" demi pendidikan yang lebih baik.

Should I say about this...?Mungkin ini adalah salah satu kelemahan kota ini, dan mungkin juga kota2 lainnya di Kalimantan...sebagai anak daerah, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri betapa tertinggalnya pendidikan tinggi di kota ini dibanding di pulau Jawa...dan ketiadaan institusi pendidikan yg setara itulah yg akhirnya memaksa saya utk pindah ke Bandung. This is a sad reality...tapi semestinya pihak Diknas Balikpapan dan PemKot sudah menyadari, dan mulai mencari solusi utk meningkatkan kualitas pendidikan buat anak daerah.

However, despite of that, Balikpapan is just what most of Indonesian people really dream of...

1. Balikpapan is the real deal for multinational oil company n stuff! Klo soal kekayaan alamnya, KalTim jgn ditanya...Di Balikpapan, kamu bisa melihat para ekspat nyaris sama banyaknya sama di Ibukota. Kmu bisa temuin berbagai macam perusahaan asing (mostly oil n gas n service company) berseliweran bak cendawan di musim hujan. Balikpapan dari dulunya emg dikenal sebagai "kota Minyak", bukan karena di Balikpapan ada lapangan minyak sebenarnya, tapi segala pusat aktivitas perminyakan seperti pusat penyulingan Pertamina ada di kota ini. Ga heran taraf hidup di Balikpapan setinggi langit. Kota ini bener2 jual jasa, dibanjiri pendatang ribuan dari pulau Jawa, n ngasi standard kerja yg tinggi. Banyak yang senang, tapi banyak juga yang mengeluh. Contoh nyatanya: angka pengagguran yang bertambah dari tahun ke tahun (http://www.balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=97411).

Kilang Minyak di Balikpapan
Sumber: msudarmanfiles.wordpress.com
 2. Balikpapan is unarguably one of the cleanest cities in Indonesia. Well, you know why. Dengan 15 raihan Adipura sampai tahun 2013 lalu, saya cuma bisa geleng2. Dari zaman saya baru bisa merangkak, kota ini sudah membanggakan dari segi kebersihan kotanya. Saya masih ingat masa ketika walikota Balikpapan masih Tjutjup Soeparna, lalu Imdaad Hamid, dan akhirnya sekarang Rizal Effendi...Balikpapan sangat-sangat menjaga kredibilitasnya yg satu ini (catatan: dengan sangat-sangat ketat). Ketika Jakarta masi mimpi dengan Ciliwungnya yg mampet karena sampah, atau Bandung yang dijuluki "The City of Pigs" http://venusgotgonorrhea.wordpress.com/2014/01/16/bandung-the-city-of-pigs/, Balikpapan lebih dari 20 tahun yg lalu sudah memiliki komitmen utk menjadi yg terbersih dr yg terbersih.

Predikat kota terbersih ke-2 di Asean pada tahun 2011 katagori clean land juga diraih, membuat siapapun yg mengetahuinya berdecak kagum. Nyatanya, mungkin karena tinggal di Balikpapan inilah, saya jadi sadar betul pentingnya menjaga kebersihan. Sejak SMP saya berkomitmen tidak akan pernah buang sampah sembarangan lagi. Kebiasaan ini sy bawa ketika hijrah di Bandung...ga peduli betapa "apatis"nya lingkungan di sekitar saya soal kebersihan. Yang lbh membahagiakan, ketika saya tinggal di Seoul, ibukota Korea Selatan yg sudah sangat maju ini ternyata tidak lebih bersih dari kampung halaman saya. Apalagi ketika malam tiba, tumpukan sampah masih bisa terlihat di beberapa sisi jalan (walaupun tidak parah dan sampai dibiarkan menumpuk lama2 seperti yg biasa kita lihat di kota2 di Indonesia).

Waduk Manggar
Sumber: http://green.kompasiana.com


Is that the end? NO. Balikpapan pernah dua kali gagal meraih piala Adipura. 2008 dan 2011. Semestinya itu jadi bahan introspeksi yg benar2 dipikirkan.Dan sekarang, ancaman banjir makin jadi anggapan "biasa", padahal dulu tidak pernah begitu...Hati-hati, semua itu berawal dari seseuatu "yang dibiasakan".

3. Balikpapan is like from another planet. Semua tahu ibukota Kaltim bukan Balikpapan. Semua tahu Balikpapan hanyalah kota kecil di pinggiran Borneo. Tapi kota ini tidak pernah mengajarkan saya ttg kemacetan. Tidak pernah mengajarkan saya ttg kerusuhan. Hidup di Balikpapan seperti hidup di suatu wilayah yang damai, tertib, dan hebatnya, sangat menenangkan. Pusat kotanya kecil, ke mana-mana dekat, dan walaupun pusat hiburan terbatas di kota ini, saya bisa menghabiskan 14 tahun hidup saya tanpa harus merasa bosan. Ruang hijau terbukanya sangat diperhatikan, hutan kotanya dijaga.

Cuma saya agak khawatir dengan perkembangan terakhir yang saya dengar...dengan makin tumbuhnya bangunan2 tinggi dan maraknya industri properti di Balikpapan. Sampai kapan infrastruktur jalan yang ada (yang sangat terbatas) bisa menampung laju bertambahnya kendaraan? Macet sudah mulai terasa nampaknya...terutama di Jl. Ahmad Yani...apalagi di TelagaSari isu longsor makin jadi momok yang bisa jadi bumerang kapan saja. Pemkot semestinya harus lebih memutar otak untuk merencanakan tata ruang yang berkelanjutan...ga hanya bicara satu periode kepemimpinan saja, tapi 20 sampai 50 tahun ke depan. Saya agak terganggu dan merasa "sedikit" meradang ketika mendengar di Balikpapan di bekas Puskib akan dibangun sebuah Supermal oleh Pemprov Kaltim...Saya tahu itu adalah daerah rawan banjir, saya tahu itu lambat laun akan mengakibatkan kemacetan yang parah jika tidak segera ditindaklanjuti. Saya tahu warga Balikpapan termasuk DPRDnya sebenarnya menolak keras. Saya sedih, karena saya termasuk yang menyadari betapa efek sampingnya untuk jangka panjang sangat-sangat memprihatinkan.

 4. Balikpapan, kota yang sarat prestasi. Selain kebersihan, tata ruang dan ketertiban lalu lintasnya juga menjadi langganan penghargaan. Pada 2013 yang lalu saja, Balikpapan berhasil memboyong 4 penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup (http://balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=93751). Sayang beribu sayang, Balikpapan memang miris, sering menjadi anak tiri di KalTim sendiri. Akhir2 ini konflik antara Pemkot Balikpapan dan Pemprov KalTim makin marak saja. Mulai dari diputusnya anggaran cuma jadi 100 miliar, pembangunan Supermal yang penuh prokontra, sampai akhirnya wacana pengubahan nama bandara Sepinggan oleh Pak Gubernur Awang Faroek (http://www.beritasatu.com/nusantara/161088-warga-tolak-perubahan-nama-bandara-sepinggan.html).

Seumur2, saya baru mendengar adanya penolakan besar2an seperti ini: suatu hal yang di satu sisi menunjukkan betapa kompaknya warga kota Balikpapan...tapi di sisi lain menjadi masalah baru karena pihak Pemprov yang (menurut saya) berusaha memaksakan kehendaknya lewat hal2 yang (menurut saya) tidak urgen sama sekali. Apakah jika nama Bandara Sepinggan tidak diganti lantas Pemprov akan rugi triliunan rupiah dan bangkrut? Sampai sekarang saya masih bingung dan tidak habis pikir...bukan berarti itu bukan usulan yang baik, tetapi cara Pak Gubernur itu yang saya tidak suka. Jika rakyat memang menolak, ya sudahlah...Mengapa harus dipaksa dan memaksa? Masih banyak masalah lebih penting yang seharusnya menjadi perhatian bersama..seperti pendidikan, lapangan kerja, dsb dst...

5. The most important thing of all: Please appreciate the man behind the gun. Kunci sukses Balikpapan?entahlah. Saya bukan pakar perkotaan. Tapi saya tahu alasan utamanya adalah warga Balikpapan yang juga mencintai kota ini. Saya ga akan bilang 100% seluruh penduduknya sadar dan mau membuang sampah pada tempatnya misalnya..tapi gaung dari orang2 yg peduli ttg kebersihan itu jauh lbh terdengar di Balikpapan. Pemkotnya, warganya, dan media lokalnya, semuanya kompak untuk terus mempertahankan Adipura sampai kapanpun. Inilah yang membuat saya sangat-sangat mencintai kota saya.

"Beriman" bukan hanya motto. "Kubangun, kujaga, kubela" bukan hanya kata picisan di brosur dan koran2, tapi berakar di budaya masyarakatnya.

::Bagaimana menurut teman-teman?Apakah teman-teman pernah berkunjung ke Balikpapan?Bagaimana kesannya?Apakah teman-teman punya pendapat tentang tantangan Balikpapan ke depan?Jangan ragu buat kasi komentar ya :) Terima kasih!!




Friday, January 17, 2014

Bulutangkis Indonesia: Menang itu dimulai dari "dalam",bukan sebaliknya

Ketika para pemain bulutangkis Indonesia melangkah di pentas kompetisi internasional, dengan lawan yang peringkat di atas kertas jauh lbh unggul, apakah yang ada di pikiran mereka?

"Aku pasti menang."
atau
"Aku akan berjuang."
atau
"Ya udahlah menang kalah itu kan biasa.."
atau??

Kalo kata Bapak Icuk Sugiarto, mantan juara dunia dari tunggal putera, pemain kita di generasi sekarang bukan lemah, dan tentunya bukan itu alasan mengapa prestasi Indonesia di bulutangkis seperti lari di tempat.
Letaknya di sini, di dalam "hati". Para pemain kita, siapa sih yang meragukan skill atau pengalaman mereka? Pelatihnya saja mantan-mantan legenda di dunia bulutangkis...tapi sayangnya, mungkin hanya sedikit dari mereka yg mewarisi teknik permainan ini dengan sepenuh hati. Hmm...maybe they can play badminton, but they didnt really love it to the core...

Well, itu risiko. Itu adalah dampak psikologi paling umum. Ketika seseorang sudah menjadi ahli di suatu bidang, maka generasi penerusnya akan "terbuai" oleh kebesaran masa lalu. Yang ada bukan "semangat" utk berkembang, tapi "beban". Pada akhirnya, para pemain muda kita (yang saya paling takutkan), mereka tidak tahan menerima kekalahan, mereka hanya dilatih untuk bermain bagus, bermain cantik, tapi mereka tidak diajarkan untuk kalah, bagaimana mengatasi ketertinggalan angka, dan lebih penting lagi, bagaimana bangkit dari ketertinggalan tersebut.

Melihat permainan para pemain kita, jika dia sudah sering juara, lambat laun mentalnya akan "terangkat". Semuanya berasal dari pengalaman. Tapi bahkan seorang juara pun sebelumnya harus merangkak dari nol, merasakan pahit getirnya persaingan dengan negara adidaya bulutangkis seperti China. Indonesia, di era kejayaannya, tidak dipersiapkan untuk menghadapi fenomena ini...Well, mungkin ini adalah bagian mental bangsa kita, yang selalu pasrah dan nerimo. Duh, masalahnya di dalam dunia olahraga, mental kaya gini itu racun bgt. Sama aja kaya kita uda kalah sebelum kalah. Ketika pertandingan masih setengah jalan dan kita tertinggal, yang ada para pemain kita lebih melihat ke arah "kalah" dibandingkan ke "menang"nya. Akhirnya uda bisa ditebak. Boro2 ngejar angka, yang ada malah dipermalukan.

Gimana ya, saya kangen sama pemain bulutangkis Indonesia yg memiliki mental pemenang.
Negara kita butuh orang2 yg ulet, yg ga mau kalah sampai detik terakhir, yg mau berjuang mati-matian (dalam arti sebenarnya) kalau uda di dalam lapangan.

Lapangan, sama aja kaya medan tempur kalo bagi para atlet.

Ketika kita kalah, sebenarnya itu adalah hal paling tabu. Untuk negara sebesar Indonesia, seharusnya atlet2 kita berpegang teguh dengan kalimat "winning is not EVERYTHING, winning is the ONLY THING."

Ayo Pak Gita Wirjawan dan para pengurus PBSI yang terhormat, kalo emang beneran NIAT mengembalikan kejayaan Indonesia, mau gak mau harus diambil langkah ekstrem. Saatnya melihat kembali ke "dalam" diri pemain, bukan hanya penampakan di "luar". Karena sebuah kedigdayaan hanya bisa dikalahkan dengan kegigihan dan ketenangan hati :)