Thursday, December 26, 2013

When our "life" are abruptly taken away (in Jakarta traffic jam) part 2: Korea insight

Sy tidak tahu kpn persisnya sy mulai bermimpi untuk datang ke Korea.

Singkatnya, well, impian itu terwujud ketika sy duduk di semester 8 di teknik kimia ITB, hasil dari sekelumit perjuangan utk mendaftar beasiswa S2. Dgn latar belakang orang teknik yg hidup di Bandung 7 tahun lamanya, satu-satunya pengalaman spektakuler sy dengan transportasi umum adalah "angkot". Angkot merajai hampir di setiap sudut kota kembang, dan sy masih terbata-bata dlm mengingat rute2nya sampai sekarang. Hidup sy di Bandung, kemampuan sy menghafal penjuru kotanya, dan keberanian sy berpetualang di dalamnya, sangat dipengaruhi oleh jalur angkot dan supirnya.

Pernah ketika sy memutuskan utk nae angkot dr depan BIP menuju kosan sy, sopir angkot Dago-Kalapa yg saya naiki harus berjibaku dan menunjukkan kemampuan luar biasanya utk memotong lalu lintas yg macet, mencari celah utk melarikan diri dr kejaran mobil polisi karena menolak ditilang. Sayangnya, adegan kejar-kejaran ala action movie itu terjadi tepat di hari ulang tahun sy.

Bandung dan angkotnya, tidak akan pernah sy lupakan dr sejarah hidup sy. Bandung yg macet krn limpahan org dr Jakarta dan sekitarnya setelah dibukanya tol Cipularang, Bandung yg hingar-bingar dan semrawut.

Pengalaman sy yg lain berasal dari ingatan masa kecil sy, ketika sy lahir dan besar di sebuah kota kecil bernama Balikpapan, Kalimantan-Timur. Balikpapan, di ingatan saya adalah sebuah kota dimana macet adalah istilah yg tidak pernah ada dalam kamusnya. Angkutan umum yg ada di kota itu dikenal dengan sebutan "taksi", yg wujudnya ternyata sama dengan "angkot" yg ada di kota Bandung. Namun, perbedaan besarnya adalah taksi di Balikpapan yg cenderung sepi dan tidak sesemrawut yg ada di kota kembang itu. Sy pikir populasi juga memiliki pengaruh besar. Ketika sy tinggal di sana, penduduk Balikpapan tidak sampai setengah juta jiwa (sy krg tahu kalau sekarang). Sy baru tahu kereta api ketika sy bepergian ke Jawa. Kereta api sudah sgt umum digunakan oleh penduduk di pulau Jawa untuk bepergian ke luar kota. Relnya sj sudah ada sejak zaman Belanda.

Well, ketika sy memutuskan utk berhijrah ke Bandung sejak SMA, sy sempet shock dgn betapa padatnya dan semrawutnya kota Bandung. Sy yg cuma anak daerah, terbengong-bengong dgn kinerja sopir angkot di Bandung yg cenderung ugal-ugalan dan tukang ngetem. Jauh lebih bermartabat supir "taksi" di kota asal sy sejujurnya. Setelah 7 thn menjadi warga kota kembang, sy akhirnya berkesempatan utk menjadi warga kota paling padat di Korea, Seoul.

Dan inilah yg menjadi batu loncatan yg paling mengguncang hati nurani serta pengetahuan sy ttg bgmn seharusnya kota dengan transportasi umum yg baik itu, hahahaha.

1. Sy ga pernah menyangka kalau sistem kereta itu bs menjadi tranportasi umum yg efektif dari dan menuju airport. Hal ini baru sy sadari ketika sy tinggal di Seoul. Sejak hr pertama sy menginjakkan kaki di Incheon airport, sy otomatis membandingkan airport Soetta dengan airport Incheon. Lebih gilanya, ketika sy datang, ada tulisan di spaduk besar2 di salah satu dinding airportnya "Welcome to Incheon International Airport, the World's best airport for 5 consecutive years" lalu ada embel2 Skytrax.

Sy bener2 takjub. WHAT? Beneran ni?? The best airport in the world? Sudah sejauh apa airport Soetta ketinggalan ma airport di Korea ini?

Katanya merdekanya cuma beda 2 hari ya, Indonesia ma Korsel. Hehehe (ketawa miris).

Maafkan kalau sy pada dasarnya udik, tp kadang sy bangga dengan kedaerahan sy. Sy seumur2 ke luar negeri waktu itu cuma buat umrah. Tapi bahkan airport di Jeddah dgn di Incheon sudah kalah jauh. Dr terminal kedatangan setelah melalui imigrasi, sy diantar pake kereta bawah tanah menuju pengambilan bagasi. Sy langsung terbengong-bengong tapi takjub. Airportnya segede apa sih? Niat amat ya cuma di airportnya pake kereta segala...Wah, ya bener aja kali titel the best airportnya kalau fasilitas airportnya aja uda kaya gini.

Setelah itu, sy mengambil bagasi sy, keluar, dan dijemput oleh slah satu teman lab saya. Kami berdua memutuskan untuk naik kereta dr Bandara Incheon menuju Seoul. Perjalanannya cukup panjang, sekitar 1.5 jam. Pemandangan dari dalam kereta sungguh2 mencengangkan. Karena bandaranya ada di sebuah pulau, dan Seoul sendiri ada di daratannya, kebayang betapa niatnya pemerintah Korea membangun jalur kereta dr pusat kota ke sebuah pulau terpencil. Sy lagi2 baru ngeh klo ternyata kereta itu bs dijadiin transportasi yg keren bgt buat nganterin orang dari dan ke bandara. Lagi2, sy mencatat kenyataan ini dlm hati. Kapan Indonesia, kapan Indonesia?

Jalur kereta bawah tanah dari Incheon International Airport yang terintegrasi dengan Seoul metro line
2. Kejutannya belum selesai sampai di sana. Belum habis kekaguman sy dgn airport railroadnya bangsa Korea, kami harus transfer dr jalur aiport menuju Seoul metro line 6, yg menuju ke stasiun dekat tempat tinggal kami, Sangwolgok station. Singkatnya, perjalanan sejauh itu diakhiri tanpa harus menyentuh kendaraan roda empat sama sekali! Saya sampai di dormitory dengan perasaan campur aduk, bahkan sy lupa kalau hari itu sy lagi shaum ramadhan, cuma sempat tidur sejam di pesawat, dan lelah setgh mati sehabis perjalanan berlarut2 (karena mesti transit dulu di Kuala Lumpur). Dan sy baru menyadari kalau ternyata kereta itu bisa sekeren dan seefisien ini kalau dijadiin transportasi umum dalam kota!! Kalau ngomongin betapa terintegrasinya sistem Seoul metro, sy harus berkata bahwa Seoul adalah salah satu kota dengan sistem transportasi umum paling nyaman di dunia! Ini kenyataan yg luar biasa membanggakan, bahkan bagi bangsa Korea sendiri.

Metro Seoul luar biasa nyaman, tepat waktu, tersedia dalam 4 bahasa (Korea, English, China, Japan), dan stasiunnya hampir ada di mana2, layaknya rute angkot Bandung. Pengalaman sy menjelajah di Seoul dan Korea sgt tergantung pada jaringan metro dan keretanya. Dan sy tidak pernah mengenal kata "macet" itu di sini, di sebuah ibukota yg paling padat penduduknya di Korea (10 juta jiwa), selama 2 tahun sy berinteraksi dengannya.

Jika sy ingin bepergian, yg harus sy lakukan adalah mengecek smartphone. Aplikasi metro subwaynya sudah sangat canggih shingga kita bisa tahu jam kedatangan dan posisi kereta, serta jalur paling cepat yg bisa kita lewati hanya dengan sekali klik. Jarak asrama sy dengan stasiun kereta paling dekat tidak sampai 300 m. Dan dari sana, sy dapat berkeliling ke mana saja di Seoul dgn kereta api bawah tanahnya yg sgt2 terpercaya dan aman.

What more I could wish for?

Hanya dgn dua keunggulan tadi, cara pandang sy ttg suatu kota bisa berubah drastis. Hanya dgn kenyamanan di sistem transportasi umumnya sj, sy bisa bilang sy ingin tinggal di Seoul selamanya. Ketika cerita ini dimulai, sy belum pernah merasakan tinggal di Jakarta. Dan ketika sekarang sy sudah menjadi warga Jakarta, sy selalu berdoa agar Jakarta dapat menjadi seperti Seoul.

Makanya sy bahagia, super bahagia ketika akhirnya kebiajakan monorel ma MRT itu jebol juga di tangan pemprov DKI sekarang. Seneng bgt, akhirnya ada juga secercah harapan utk mengoperasi "kemacetan" Jakarta langsung dr sumbernya: reduksi para pengguna kendaraan motor pribadi.

Yah, percaya aja dah. Contohnya aja uda jelas bgt di depan mata. Semua negara maju uda pake sistem itu. Kitanya kok masi nyantai2...huff... 

Sy yakin, kita bisa kok.Tinggal bersabar dan tetap dukung program yang sedang berjalan. Semoga semuanya emang lancar dan pada akhirnya negara ini bisa lebih bermartabatlah ibukotanya :)





No comments:

Post a Comment